Senin, 30 September 2024

Menggali Potensi Pangan Lokal Dalam Mengatasi Stunting

Menggali Potensi Pangan Lokal Dalam Mengatasi Stunting


Edit by : Direktorat Penelitian dan Pengembangan Jakarta Raya 2024 

Tempe merupakan salah satu pangan lokal. (Sumber: Pexels.com)

Stunting adalah keadaan gagal tumbuh pada balita, yakni dimulai pada masa kehamilan Ibu hingga balita berusia dua tahun atau dikenal dengan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Hasil Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa prevalensi stunting mengalami penurunan dari tahun 2013 sebesar 37,2% menjadi 30,8% di tahun 2018. Meskipun demikian, angka tersebut masih jauh dari target World Health Organization (WHO) berdasarkan Global Nutrition Targets 2025 Stunting Policy Brief, yaitu angka stunting harus turun 40%. Guna  menekan  masalah  gizi  balita,  pemerintah melakukan  gerakan  nasional  pencegahan  stunting  dan  kerjasama  kemitraan multisektor dengan menerapkan  160  kabupaten  prioritas penurunan stunting.

1. Faktor Risiko Stunting

Stunting dapat mengancam kualitas manusia indonesia hal ini dikarenakan stunting tidak hanya mengganggu pertumbuhan fisik anak  namun juga berdampak pada perkembangan motorik dan kognitif, serta di masa depan akan rentan terhadap penyakit degeneratif seperti obesitas, diabetes melitus, bahkan dalam kondisi yang parah dapat menyebabkan kematian (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). UNICEF framework menjelaskan terdapat faktor penyebab terjadinya malnutrisi. Salah satu penyebab langsungnya adalah asupan zat gizi. Faktor ini dapat berhubungan dengan akses terhadap makanan dan faktor pola asuh.

 2. Pentingnya Pengetahuan Tentang Pangan Lokal

Faktor pola asuh dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan pada seseorang. Tingkat pengetahuan yang baik dapat mendorong seseorang untuk menentukan sikap dan perilakunya setiap hari (Jayadi et al., 2023). Dalam hal ini, terkait pemberian makanan bagi anak dan anggota keluarga. Hasil pre-test pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh (Wijinindyah et al., 2023) menunjukkan hasil bahwa 69,44% ibu memiliki tingkat pengetahuan yang kurang tentang pangan lokal. Artinya, banyak masyarakat khususnya para ibu yang belum mengetahui tentang pemanfaatan pangan lokal di sekitar untuk mencegah dan mengatasi stunting. Penelitian (Fila Anisa et al., 2019) juga mendukung dengan menyatakan bahwa masalah gizi terjadi disertai dengan minimnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang, dan kesehatan. Maka dari itu, penting untuk meningkatkan pengetahuan dan mendorong para ibu dalam memanfaatkan sumber daya lokal yang kaya nutrisi serta cara mengolahnya menjadi makanan yang disukai anak (Husnah et al., 2022).

3.  Pangan Lokal Yang Berpotensi Mengatasi Stunting 

Indonesia memiliki kekayaan pangan lokal yang sangat besar dan beragam, tetapi masih banyak jenis pangan lokal yang kurang dimanfaatkan dan belum dioptimalkan. Terdapat beberapa pangan lokal yang memiliki potensi besar dalam membantu mengatasi masalah stunting, diantaranya:

 a.      Singkong dan Tepung Mocaf

Salah satu keanekaragaman pangan lokal yang sangat beragam terdapat di Kota Balikpapan. Menurut penelitian Gozali dan Kusuma (2018), menunjukkan pangan lokal yang ada wilayah Kota Balikpapan berpotensi untuk dikembangkan dimanfaatkan menjadi berbagai olahan yang bergizi dengan berbagai macam jenis dan rasa khasnya, salah satunya singkong. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Julita et al (2023) menunjukan bahwa dalam 100 g daging singkong terkandung 1 g protein, 36,8 g karbohidrat, dan 0,1 g lemak. Sementara itu, tepung mocaf (Modified Cassava Flour), yang merupakan tepung hasil fermentasi singkong bebas gluten, kaya akan kalsium dan protein, yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan balita. Singkong dan tepung mocaf dapat diolah secara optimal dan kreatif menjadi makanan pendamping ASI (MPASI) untuk memenuhi kebutuhan gizi balita dan membantu mencegah stunting.

b.      Juwawut/Jawak

Juwawut/Jawak adalah sejenis serelia berbiji kecil yang memiliki kandungan gizi lengkap mulai dari zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak, dan serat) hingga zat gizi mikro (kalsium, besi, magnesium, fosfor, seng, kalium, dan vitamin) yang diperlukan oleh bayi dan balita untuk masa pertumbuhan. Kandungan gizi Juwawut lebih tinggi 3 hingga 5 kali dari beras dan gandum. Juwawut dapat diolah menjadi bubur dan puding seperti penelitian yang dilakukan oleh ( Dewi dkk, 2023) yang dilakukan selama 2 bulan. Pada kelompok balita stunting terjadi kenaikan rata-rata berat badan sebesar 0,69 kg sedangkan pada tinggi badannya terjadi kenaikan rata-rata sebesar 1,14 cm. Penelitian lain Kurniati & Sunarti (2020) menunjukkan pemberian bubur Juwawut efektif dalam peningkatan berat badan balita stunting dari 8.882 menjadi 9,038 (terjadi peningkatan 0,158 kg) selama 3 bulan.

c.       Tempe

Tempe memiliki kandungan protein dan seng yang tinggi serta mengandung zat antimikroba aktif yang dapat mengatasi gangguan pencernaan seperti diare. Tempe dapat diolah menjadi beberapa macam makanan olahan seperti nugget tempe. Penelitian yang dilakukan oleh (susianto, dkk 2023) pada kelompok balita yang diintervensi dengan diberikan nugget tempe terdapat peningkatan rata-rata berat badan dan tinggi badan sebesar 0,86 kg dan 1,24 cm selama 1 bulan. Hal ini menjadi bukti bahwa modifikasi makanan berbasis kearifan lokal dapat menjadi alternatif program pemberantasan stunting.

1.      4. Peningkatan Pengetahuan Masyarakat

Pangan lokal memiliki peran penting dalam upaya mengatasi stunting di Indonesia dengan menyediakan sumber gizi yang beragam dan kaya nutrisi. Pangan seperti singkong, tepung mocaf, juwawut, dan tempe, yang mudah didapat dan terjangkau, serta berpotensi dikembangkan menjadi makanan bergizi untuk mendukung tumbuh kembang balita. Namun, rendahnya pengetahuan masyarakat, terutama para ibu, tentang manfaat pangan lokal menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu, edukasi tentang pemanfaatan pangan lokal, disertai dengan peningkatan kreativitas dalam pengolahan makanan, sangat diperlukan untuk mendukung pencegahan stunting dan meningkatkan kualitas hidup anak-anak Indonesia.


Sumber:

Aurima, J., Susaldi, S., Agustina, N., Masturoh, A., Rahmawati, R., & Tresiana Monika Madhe, M. (2021). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita di Indonesia. Open Access Jakarta Journal of Health Sciences, 1(2), 43–48. https://doi.org/10.53801/oajjhs.v1i3.23

Dewi, R. N, Kalsum, U. and Siregar, N. . (2023) “The Effect of Giving Jagaq Porridge on Body Weight and Height of Stunted Toddlers Aged 12-24 Months in the Work Area of the Depar Health Center”, Formosa Journal of Science and Technology , 2(2), pp. 525–544. doi: 10.55927/fjst.v2i2.2799.

Fila Anisa, A., Darozat, A., Aliyudin, A., Maharani, A., Irfan Fauzan, A., Adi Fahmi, B., Budiarti, C., Ratnasari, D., Fadilah, D. N., & Apriyanti Hamim Abstrak, E. (2019). Permasalahan Gizi Masyarakat Dan Upaya Perbaikannya. UIN Sunan Gunung Djati, 1–22.

Husnah, Sakdiah, Anam, A. K., Husna, A., & Mardhatillah, G. (2022). Peran Makanan Lokal dalam Penurunan Stunting. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, 5(3), 47–53.

Jayadi, Y. I., Adnan, Y., Ibrahim, H., Rezkiyanti, F. A., & Awaliah, N. P. (2023). Peningkatan Perilaku Masyarakat terhadap Konsumsi Sumber Pangan Lokal dan Garam Beryodium di Dusun Maccini Baji, Kabupaten Takalar : Studi Quasi Eksperimental. Ghidza: Jurnal Gizi Dan Kesehatan, 7(1), 106–117. https://doi.org/10.22487/ghidza.v7i1.677

Komalasari, K., Supriati, E., Sanjaya, R., & Ifayanti, H. (2020). Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Stunting Pada Balita. Majalah Kesehatan Indonesia, 1(2), 51–56. https://doi.org/10.47679/makein.202010

Kurniati, P. T., & Sunarti. (2020). Efektivitas Pemberian Bubur Jawak (Setaria italica) dalam meningkatkan berat badan dan tinggi badan balita Stunting di Kabupaten Sintang. Jurnal Stikes Kapuas Sintang, 1, 12–21.

Nasution, I. S., & Susilawati, S. (2022). Analisis faktor penyebab kejadian stunting pada balita usia 0-59 bulan. FLORONA : Jurnal Ilmiah Kesehatan, 1(2), 82–87. https://doi.org/10.55904/florona.v1i2.313

Susianto., Iswarawanti, D., Mamlukah., Khaerudin, M & Mahendra, Dimas. (2023). Pengaruh pemberian makanan tambahan nugget tempe sebagai pangan lokal terhadap berat badan dan tinggi badan balita stunting. Jurnal Ilmu Kesehatan Bhakti Husada: Health Sciences Journal. 14. 309-316. 10.34305/jikbh.v14i02.850.

Wijinindyah, A., L. Lumban Gaol, S., Chotimah, H., Arfiyanti, Z., & Umniyati, S. (2023). Penguatan Olahan Pangan Lokal: Kalakai, Kelor dan Cangkang Telur untuk Mengatasi Stunting. Yumary: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(2), 275–284. https://doi.org/10.35912/yumary.v4i2.2645



  



Minggu, 01 September 2024

Mengenal Mpox Lebih Dekat : Gejala, penyebaran, dan pencegahan

Mengenal Mpox Lebih Dekat : Gejala, penyebaran, dan pencegahan


Edit by : Direktorat Advokasi Jakarta Raya 2024 


Mpox, atau yang sering disebut cacar monyet, kini menjadi salah satu perhatian utama dalam dunia kesehatan global. Penyakit ini disebabkan oleh virus Mp       awalnya banyak ditemukan di daerah-daerah tertentu di Afrika Tengah dan Barat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, penyebarannya meluas hingga menjadi masalah kesehatan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Virus ini termasuk dalam keluarga yang sama dengan virus penyebab cacar. Orang yang terinfeksi Mpox biasanya mengalami ruam kulit, yang akan melalui beberapa tahapan hingga akhirnya sembuh. Mpox bukanlah penyakit yang terkait dengan cacar air, namun memiliki beberapa gejala serupa

1.      Update Terbaru Penyebaran Kasus Mpox di Indonesia

Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI hingga 17 Agustus 2024, terdapat 88 kasus konfirmasi Mpox di Indonesia. Kasus-kasus ini tersebar di beberapa provinsi, dengan DKI Jakarta menjadi wilayah dengan jumlah kasus terbanyak, yaitu 59 kasus. Sebagian besar kasus telah dinyatakan sembuh, namun surveilans tetap dilakukan untuk memantau perkembangan kasus ini.

Sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pengendalian, Kemenkes telah menetapkan 12 laboratorium rujukan secara nasional untuk pemeriksaan Mpox dan melakukan whole genome sequencing (WGS) pada 54 kasus yang memenuhi kriteria. Hasilnya, seluruhnya adalah varian Clade IIB, yang merupakan varian dengan fatalitas lebih rendah dan sebagian besar ditularkan melalui kontak seksual.

2.      Mengenal Gejala Mpox Secara Mendalam

Beberapa gejala umum yang sering dialami oleh penderita Mpox adalah sebagai berikut:

·         Demam

·         Sakit kepala

·         Nyeri otot

·         Sakit punggung

·         Lemas

·         Pembengkakan kelenjar getah bening (di leher, ketiak, atau selangkangan)

·         Ruam pada kulit

Perkembangan Ruam pada kulit berawal dari bintik merah seperti cacar, lepuh berisi cairan bening, lepuh berisi nanah, kemudian mengeras dan keropeng lalu menjadi rontok. Ruam umumnya akan menyerang bagian tubuh seperti wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. Ruam juga dapat ditemukan di mulut, alat kelamin, dan juga mata.

Ruam yang terjadi pada penderita cacar monyet ini seringkali disalahartikan sebagai penyakit kulit lainnya seperti sifilis atau herpes. Gejala ini biasanya terjadi antara 2-4 minggu dan biasanya akan sembuh sendiri. Namun pada beberapa penderita, hal ini juga dapat memicu komplikasi medis bahkan kematian.

3.   Asal-Usul dan Penyebaran Virus Mpox

Mpox, sebelumnya dikenal sebagai monkeypox merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus monkeypox bagian dari genus Orthopoxvirus dalam famili Poxviridae. Virus Mpox pertama kali ditemukan pada tahun 1958 di koloni monyet yang dipelihara untuk penelitian. Meskipun dinamai "monkeypox," sumber asli dari penyakit ini masih belum diketahui. Kasus pertama infeksi manusia tercatat pada tahun 1970 di Republik Demokratik Kongo. Pada tahun 2022, Mpox menyebar ke seluruh dunia, menyebabkan kekhawatiran global.

Virus Mpox terbagi menjadi dua clade, yaitu Clade I dan Clade II. Clade I, yang sebagian besar ditemukan di Afrika Tengah, memiliki tingkat fatalitas yang lebih tinggi, sedangkan Clade II, yang sebagian besar ditemukan di Afrika Barat dan menjadi penyebab wabah global tahun 2022, memiliki tingkat fatalitas yang lebih rendah. Hingga saat ini, varian Clade II adalah yang paling banyak ditemukan di Indonesia.Mpox juga bersifat endemik di beberapa wilayah Afrika, khususnya Afrika Tengah dan Barat dengan tingkat kematian sekitar 3-6%.

4.      Pencegahan dan Pengobatan Mpox

Pencegahan penularan Mpox dapat dilakukan dengan menghindari kontak langsung dengan individu yang terinfeksi, terutama kontak kulit-ke-kulit dan hubungan seksual. Selain itu, penting untuk tidak berbagi barang-barang pribadi seperti handuk dan pakaian dengan orang yang terinfeksi. Jika terdapat gejala seperti ruam atau lesi pada kulit, sangat disarankan untuk segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat.

Kemenkes telah menyiapkan pemberian terapi simtomatis bagi pasien Mpox, tergantung pada derajat keparahan kasusnya. Pasien dengan gejala ringan dapat melakukan isolasi mandiri di rumah dengan pengawasan dari puskesmas setempat, sedangkan pasien dengan gejala berat harus dirawat di rumah sakit.

5.   Pentingnya Kesadaran Masyarakat

Masyarakat diimbau untuk selalu waspada terhadap gejala Mpox. Penggunaan masker medis dan menjaga kebersihan tangan sangat dianjurkan jika merasa tidak sehat. Jika muncul gejala seperti ruam bernanah atau keropeng pada kulit, segera periksakan diri untuk mendapatkan penanganan yang tepat dan mencegah penyebaran lebih lanjut. Dengan peningkatan kesadaran dan pencegahan yang efektif, diharapkan wabah Mpox di Indonesia dapat terkendali dengan baik, dan angka penyebarannya dapat ditekan.

REFERENSI


1.  https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20240818/1546252/88-kasus- konfirmasi-mpox-di-indonesia-seksual-sesama-jenis-jadi-salah-satu-penyebab/

2.  https://www.cdc.gov/poxvirus/mpox/about/index.html

 3.  https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/monkeypox