cek Video on Youtube! bit.ly/PHTpenyakitTB
PUBLIC
HEALTH TODAY
: TUBERKULOSIS
Tuberkulosis
merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. Sesuai dengan Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan 2030, WHO menargetkan untuk menurunkan kematian akibat
tuberkulosis sebesar 90% dan menurunkan insidens sebesar 80% pada tahun 2030 dibandingkan
dengan tahun 2014.
Menurut laporan
WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta kasus TB baru dengan 3,2
juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5 juta kematian karena TB
dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB tersebut ditemukan 1,1
juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000 orang (140.000 orang adalah
perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan kematian 190.000 orang.
Dari 9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah usia
15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun. Jumlah kasus TB di Indonesia menurut
Laporan WHO tahun 2015, diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per
100.000 penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk).
Diperkirakan 63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk).
Angka Notifikasi Kasus (Case Notification
Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129 per 100.000 penduduk.
Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya 314.965 adalah kasus baru.
Secara nasional perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB diperkirakan
sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal
dari 1,9% kasus TB- RO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB
dengan pengobatan ulang (Kemenkes RI, 2016a).
Indonesia
merupakan negara dengan jumlah kasus baru terbanyak kedua di dunia setelah
India. Sebesar 60% kasus baru terjadi di 6 negara yaitu India, Indonesia,
China, Nigeria, Pakistan dan Afrika Selatan (Kemenkes RI, 2016b). Kematian
akibat tuberkulosis diperkirakan sebanyak 1,4 juta kematian ditambah 0,4 juta kematian
akibat tuberkulosis pada orang dengan HIV. Meskipun jumlah kematian akibat tuberkulosis
menurun 22% antara tahun 2000 dan 2015, tuberkulosis tetap menjadi 10 penyebab
kematian tertinggi di dunia pada tahun 2015 (WHO, Global Tuberculosis Report,
2016).
1.
Pengertian
Tuberkulosis
Tuberkulosis yang
selanjutnya disingkat TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang dapat
menyerang paru dan organ lainnya (Kemenkes RI, 2016a).
2.
Patogenesis
dan Penularan TB
2.1 Kuman Penyebab
TB
Kuman Penyebab TB Tuberkulosis adalah
suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan
Asam (BTA). Secara umum sifat kuman Mycobacterium
tuberculosis antara lain adalah sebagai berikut:
•
Berbentuk batang
dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 –0,6 mikron.
•
Bersifat tahan
asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl Neelsen, berbentuk batang berwarna
merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop.
•
Memerlukan media
khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.
•
Tahan terhadap
suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu
antara 4°C sampai minus 70°C.
•
Kuman sangat
peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet. Paparan langsung
terhada sinar ultra violet, sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa
menit.
•
Dalam dahak pada
suhu antara 30-37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.
•
Kuman
dapat bersifat dorman (Direktorat Jenderal
P2PL, 2014).
2.2 Penularan TB
2.2.1 Sumber Penularan
TB
Sumber penularan adalah
pasien TB terutama pasien yang mengandung kuman TB dalam dahaknya. Pada waktu
batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan
dahak (droplet nuclei / percik
renik). Infeksi akan terjadi apabila seseorang menghirup udara yang mengandung
percikan dahak yang infeksius. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3500 M.tuberculosis. Sedangkan
kalau bersin dapat mengeluarkan sebanyak 4500 – 1.000.000 M.tuberculosis (Direktorat Jenderal
P2PL, 2014).
3.
Gejala
dan Tanda
Bakteri TB mampu hidup dalam tubuh
tanpa menimbulkan gejala pada penjamunya. Hal ini disebut infeksi TB laten.
Sebagian besar orang yang terinfeksi kuman TB, tubuhnya mampu untuk melawan
bakteri dan menghentikan pertumbuhan bakteri tersebut. Orang dengan infeksi TB
laten tidak merasakan sakit, tidak menunjukkan gejala, dan tidak dapat
menularkan bakteri TB kepada orang lain. Saat bakteri TB menjadi aktif di dalam
tubuh penjamunya dan berkembang biak, orang yang mengalami infeksi TB laten ini
akan menjadi sakit dan menunjukkan gejala dan tanda (CDC, 2018). Sebagian besar
dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya 10% dari
yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB paru (Safithri, 2011).
Gejala utama pasien TB paru adalah
batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala
tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV
positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala
batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih (Kemenkes
RI, 2016a).
4.
Beban
Penyakit TB
Beban
penyakit yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat diukur dengan insidens,
prevalensi, dan mortalitas/kematian (Kemenkes RI, 2016b).
4.1
Insiden
dan Prevalensi Tuberkulosis
Menurut
Gobal Tuberculosis Report WHO
(2016), diperkirakan insidens tuberkulosis di Indonesia pada tahun
2015 sebesar 395 kasus/100.000 penduduk dan angka kematian sebesar 40/100.000
penduduk (penderita HIV dengan tuberkulosis tidak dihitung) dan 10/100.000
penduduk pada penderita HIV dengan tuberkulosis. Menurut perhitungan model
prediction yang berdasarkan data hasil survei prevalensi tuberkulosis
tahun 2013-2014, estimasi prevalensi tuberkulosis tahun 2015 sebesar 643 per
100.000 penduduk dan estimasi prevalensi tuberkulosis tahun 2016 sebesar 628 per 100.000 penduduk.
Pada
RPJMN 2015-2019, indikator yang digunakan adalah prevalensi tuberkulosis berbasis
mikroskopis saja sehingga angkanya lebih rendah dari hasil survei prevalensi tuberkulosis
tahun 2013-2014 yang telah menggunakan metode yang lebih sensitif yaitu konfirmasi
bakteriologis yang mencakup pemeriksaan mikroskopis, molekuler dan kultur.
Target
prevalensi tuberkulosis tahun 2015 dalam RPJMN sebesar 280 per 100.000 penduduk
dengan capaian sebesar 263 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2016 target
sebesar 271 per 100.000 penduduk dengan capaian sebesar 257 per 100.000
penduduk. Berdasarkan capaian tahun 2015 dan 2016 tersebut, maka dapat
diprediksi bahwa target tahun 2019 dengan metode lama sebesar 245 per 100.000
penduduk dapat tercapai (Kemenkes RI, 2016b).
4.2 Kasus Tuberkulosis Ditemukan
Pada
tahun 2016 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 351.893 kasus, meningkat
bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2015 yang
sebesar 330.729 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di
provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di tiga provinsi tersebut sebesar 44% dari
jumlah seluruh kasus baru di Indonesia.
Menurut
jenis kelamin, jumlah kasus pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu
1,4 kali dibandingkan pada perempuan. Pada masing-masing provinsi di seluruh Indonesia
kasus lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Pada Tahun
2016 kasus tuberkulosis terbanyak ditemukan pada kelompok umur 25-34
tahun yaitu sebesar 18,07% diikuti
kelompok umur 45-54 tahun sebesar 17,25% dan pada kelompok umur 35-44 tahun
sebesar 16,81%.
4.3 Angka Notifikasi Kasus atau Case Notification
Rate (CNR)
Angka
notifikasi kasus adalah jumlah semua kasus tuberkulosis yang diobati dan
dilaporkan di antara 100.000 penduduk yang ada di suatu wilayah tertentu. Angka
ini apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan (tren)
meningkat atau menurunnya penemuan kasus dari tahun ke tahun di suatu wilayah.
Angka
notifikasi kasus tuberkulosis pada tahun 2016 sebesar 136 per 100.000 penduduk
meningkat dibandingkan dengan tahun 2015 sebesar 130 per 100.000 penduduk.
Provinsi
dengan CNR semua kasus tuberkulosis tertinggi yaitu DKI Jakarta (269), Papua
(260) dan Maluku (209), dan Papua (223). Sedangkan CNR semua kasus tuberkulosis
terendah yaitu Provinsi Bali (73), DI Yogyakarta (83) dan Riau (95). Bila
dibandingkan dengan CNR semua kasus TB tahun 2015 terdapat 24 provinsi (71%)
yang mengalami kenaikan CNR dan 10 provinsi (29%) yang mengalami penurunan CNR (Kemenkes RI, 2016b).
4.4 Angka Keberhasilan Pengobatan
Salah
satu upaya untuk mengendalikan tuberkulosis yaitu dengan pengobatan. Indikator
yang digunakan untuk mengevaluasi pengobatan tuberkulosis melalui angka keberhasilan
pengobatan (Success Rate). Angka keberhasilan pengobatan merupakan jumlah
semua kasus tuberkulosis yang sembuh (cure) dan pengobatan lengkap di
antara semua kasus tuberkulosis yang diobati dan dilaporkan. Dengan demikian
angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan semua kasus dan angka
pengobatan lengkap semua kasus. Berikut ini digambarkan angka keberhasilan
pengobatan tahun 2008- 2016.
Pada
tahun 2016 angka keberhasilan pengobatan semua kasus tuberkulosis sebesar 85%.
Angka kesembuhan semua kasus yang harus dicapai minimal 85% sedangkan angka
keberhasilan pengobatan semua kasus minimal 90% (Kemenkes RI, 2016b).
5.
Tuberklosis
di DKI Jakarta
5.1 Strategi dan Kebijakan
Program Penanggulangan TB
Pengendalian TB
merupakan salah satu kegiatan prioritas yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan DKI
Jakarta dengan visi Tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Provinsi DKI Jakarta di tahun 2020, dengan jalan : (1) Menetapkan
kebijaksanaan, memberikan panduan serta membuat evaluasi secara tepat, benar
dan lengkap; (2) Menciptakan iklim kemitraan dan transparansi dalam upaya
penanggulangan tuberkulosis; (3) Mempermudah akses pelayanan penderita TB untuk
mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan mutu standar pelayanan.
Arah kebijakan Pemda
DKI Jakarta bertujuan untuk mencapai target penanggulangan TB dengan angka CDR
≥ 70%, SR ≥ 85% dan ER < 5% dengan melibatkan semua unit pelayanan kesehatan
untuk : (1) Peningkatan pelayanan diagnosis dan treatment; (2) Jaminan obat;
(3) Pathership; (4) Monitoring dan Evaluasi. Peran Jajaran Kesehatan di
Provinsi DKI Jakarta : (1) Penyediaan OAT 60% dari total kebutuhan sesuai
edaran Depkes tahun 2009; (2) Case Finding terutama disekitar penderita dan
Peningkatan angka kesembuhan; (3) Peningkatan SDM melalui Pelatihan bagi
petugas UPK; (4) Penyuluhan kepada pasien TB dan optimal peran PMO; (5) MONEV
Rutin tiap 3 bulan di tk. Kodya dan Provinsi melalui software TB berbasis Web
(6) Pengembangan TB/HIV Kolaborasi; (7) Sosialisasi ISTC kerjasama dgn IDI dan
organisasi Profesi lainnya; (8) Pelaksanaan sistem skoring TB Anak.
5.2 Situasi
Penderita TB BTA positif di DKI Jakarta
Jumlah kasus TB
Paru di Provinsi DKI Jakarta tahun 2012 yaitu sebanyak 24,5 ribu kasus, dengan
prevalensi sebesar 256, artinya terdapat 256 kasus TB Paru per
100.000 penduduk. Case Fatality Rate
(CFR) TB Paru sebesar 2, artinya ada 2 orang yang mati akibat TB Paru 100.000
penduduk di provinsi DKI Jakarta. Urutan wilayah dengan prevalensi TB Paru
tertinggi yaitu di Kabupaten Kepulauan Seribu, 659 kasus per 100.000 penduduk
di Kepulan Seribu dan Kota Madya Jakarta Pusat 605 kasus per 100.000 penduduk
di wilayah tersebut (Rahayu, 2016).
Menurut data dari Profil Kesehatan DKI Jakarta, Jumlah penderita TB Paru Klinis (Suspek ditemukan) di Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2016 sebanyak 55.503 penderita. Dari jumlah tersebut 7.302 diantaranya merupakan pasien baru TB positif, terjadi peningkatan penderita TB dibanding tahun 2015 sebesar 5.574 orang. Jakarta Timur, Barat dan Selatan merupakan wilayah dengan jumlah TB Paru BTA+ terbesar di Provinsi DKI Jakarta, yaitu rata-rata sebanyak 2.000 penderita (Dinkes DKI, 2016).
Pada tahun 2016 setelah dilakukan upaya pengobatan terhadap 7.302 penderita TB Paru BTA+, 80,59% (persen) diantaranya dinyatakan sembuh. Berdasarkan persentase kesembuhan, wilayah dengan tingkat keberhasilan pengobatan tertinggi ada di Kota Jakarta Timur, dan terendah di wilayah Jakarta Utara.
Angka keberhasilan pengobatan terbesar
adalah di wilayah Jakarta Barat sebesar 83,24% dan angka keberhasilan
pengobatan terendah di wilayah Jakarta Utara sebesar 3,99%. Hal ini disebabkan
beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan diantaranya yang
paling utama adalah kesadaran masyarakat untuk melakukan pengobatan secara
teratur dan disiplin, selain monitoring dan evaluasi dari petugas kesehatan (Dinkes DKI, 2016).
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kesehatan DKI Jakarta. (2016). Profil Kesehatan
Provinsi DKI Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian TB.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI. (2016a). Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 67 tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Kemenkes RI. (2016b). Profil
Kesehatan Indonesia Tahun 2016.
Rahayu, L. S. (2016). Analisis
Situasi Tuberkulosis di Provindi DKI Jakarta dengan Metode Root Cause Analysis
(RCA), (1), 277–290.