Senin, 30 Desember 2024

PERAN KELUARGA DALAM PENCEGAHAN STUNTING

 PERAN KELUARGA DALAM PENCEGAHAN STUNTING 

Disusun Oleh: Direktorat Penelitian dan Pengembangan ISMKMI Jakarta Raya 2024

ilustrasi peran keluarga (sumber:https://www.freepik.com/)

Stunting merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang berdampak signifikan pada kondisi kesehatan dan kualitas sumber daya manusia (Agus et al., 2022). Masalah ini terjadi akibat kurangnya asupan gizi kronis yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik, kesakitan, kematian, gangguan perkembangan mental, hingga penurunan kemampuan kognitif dan motorik anak (Hastuti, Kusuma, & Ariyanti, 2022). Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan dari 24,4% pada tahun 2021 menjadi 21,6% pada tahun 2022. Walaupun pencapaian ini menunjukkan perbaikan, namun angka ini masih jauh dari target nasional sebesar 14% pada tahun 2024 serta masih memerlukan upaya yang lebih masif serta terintegrasi. Salah satu strategi utama yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan peran keluarga sebagai unit terkecil masyarakat dalam mencegah stunting secara dini. Hal ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Gurmu, E (2018) dalam (Hastuti, L., Kusuma, R. E., & Ariyanti, S, 2022) terkait hubungan struktur peran keluarga dengan stunting anak usia 2-5 tahun menunjukkan bahwa, prevalensi stunting 10% lebih tinggi pada anak yang tinggal dengan keluarga besar dibanding anak yang tinggal dengan keluarga inti. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan agar keluarga memiliki kekuatan untuk menciptakan generasi sehat dan berkualitas, diantaranya:

1.     Peran Keluarga Dalam Pola Asuh

Pola makan sehat sejak dini adalah langkah pertama dalam mencegah stunting (hambatan pertumbuhan). Keluarga memiliki peran penting dalam memperkenalkan anak pada makanan bergizi yang mencakup protein, karbohidrat, lemak sehat, serta vitamin dan mineral. Memberikan contoh perilaku makan yang baik, seperti menghindari konsumsi makanan cepat saji dan menggantinya dengan sayuran, buah-buahan, serta sumber protein hewani seperti ikan dan daging, sangat penting untuk memastikan anak tumbuh dengan kebiasaan makan yang sehat (Maryani, Mundarti, & Yuniyanti, 2024). Ketika sudah terbiasa mengkonsumsi makanan bergizi, risiko stunting akibat kekurangan zat gizi dapat ditekan.

Selain pola makan, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) juga menjadi elemen penting dalam pola asuh yang mendukung tumbuh kembang anak. Orang tua dapat mengajarkan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, menjaga kebersihan lingkungan, serta menjauhkan anak dari sumber penyakit. Tidak hanya itu, menghindari kebiasaan buruk seperti merokok di dekat anak juga berkontribusi terhadap lingkungan sehat yang mendukung pertumbuhan anak.

2.     Memastikan Asupan Gizi Terbaik

Periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari hari pertama kehamilan hingga anak berusia dua tahun, merupakan masa kritis untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Selama periode ini, tubuh dan otak anak berkembang sangat cepat, sehingga kebutuhan nutrisinya harus terpenuhi dengan baik. Untuk ibu hamil, pemenuhan gizi mencakup konsumsi protein untuk pembentukan jaringan tubuh janin, asam folat untuk mencegah cacat tabung saraf, zat besi untuk mencegah anemia, dan kalsium untuk mendukung perkembangan tulang dan gigi janin. Setelah bayi lahir, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan bayi memberikan semua kebutuhan nutrisi yang diperlukan dalam masa pertumbuhannya.  Tidak hanya asi,  makanan pendamping ASI (MPASI) yang bergizi seimbang dengan membatasi asupan gula dan memenuhi kebutuhan gizi harian termasuk karbohidrat, protein hewani, lemak sehat, vitamin, mineral, serta air sejak usia 6 bulan juga sangat penting (Hastuti, Kusuma, & Ariyanti, 2022).

Peran ayah pun tak kalah penting dalam mendukung kesehatan keluarga dengan memastikan ketersediaan bahan makanan bergizi di rumah. Hal ini dapat dilakukan melalui perencanaan anggaran keluarga yang memprioritaskan kebutuhan pangan, membantu ibu memilih bahan makanan sehat, dan memberikan teladan pola makan sehat kepada anak. Selain itu, edukasi kepada ayah mengenai kebutuhan gizi ibu hamil, ibu menyusui, dan anak melalui program di Puskesmas atau Posyandu juga penting untuk meningkatkan kesadaran mereka akan peran gizi dalam mencegah stunting (Maryani, Mundarti, & Yuniyanti, 2024). 

3.     Memantau Kesehatan Anak

Pemantauan kesehatan anak secara rutin di posyandu sangat penting untuk mendeteksi risiko stunting sejak dini. Pengukuran berat badan, tinggi badan, dan status gizi anak diukur secara berkala di posyandu. Menurut Darmawan et al. (2022), kunjungan Posyandu yang kurang dari delapan kali setahun meningkatkan risiko stunting hingga lima kali lipat. Oleh karena itu, orang tua perlu aktif memanfaatkan layanan kesehatan ini untuk memastikan tumbuh kembang anak optimal. Deteksi dini gejala stunting, seperti berat badan atau tinggi badan yang tidak sesuai dengan usia anak, memungkinkan intervensi lebih cepat. Konsultasi dengan tenaga kesehatan di Puskesmas atau Posyandu dapat membantu orang tua mendapatkan saran yang tepat terkait kebutuhan nutrisi dan pola asuh anak (Prakoso et al., 2021).

Selain itu, perlu memperhatikan status imunisasi lengkap karna dapat menjadi salah satu cara mencegah stunting. Imunisasi lengkap dapat melindungi anak dari infeksi yang berisiko menghambat pertumbuhan seperti diare dan pneumonia. Penelitian Darmawan et al. (2022) menunjukkan bahwa 86,4% anak dengan imunisasi lengkap tidak mengalami stunting, sementara anak dengan imunisasi tidak lengkap berisiko empat kali lebih besar mengalami stunting. Oleh karena itu, orang tua perlu memastikan anak mendapatkan imunisasi secara lengkap dan tepat waktu.

Keluarga adalah pondasi utama dalam mencegah stunting. Memulai dari  pola asuh yang tepat, pemenuhan gizi yang optimal, dan pemantauan kesehatan secara rutin, risiko stunting pada anak dapat diminimalkan. Keluarga, terutama peran ayah dan ibu, harus bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal. Dengan memahami peran ini, keluarga dapat memastikan anak-anak Indonesia tumbuh menjadi generasi yang sehat, cerdas, dan produktif.

Daftar Pustaka

 Agus, J., Pitoyo, A., Saputri, R., Eka, A., & Handayani, T. (2022). Analysis of Determinants of Stunting Prevalence among Stunted Toddlers in Indonesia. Populasi, 30(1), 36–49.

Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK Kemenkes) (2023) Survei Kesehatan Indonesia                 2023. Available at: https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/hasil-ski-2023/ (Accessed: 27                 Desember 2024).

Darmawan, A., Reski, R., & Andriani, R. (2022). Kunjungan ANC, posyandu dan imunisasi dengan                 kejadian stunting pada balita di Kabupaten Buton Tengah. Aksi: Jurnal Gizi Aceh , 7 (1), 33–40.             https://doi.org/10.30867/action.v7i1.469

Hastuti, L., Kusuma, R. E., & Ariyanti, S. (2022). Gambaran peran keluarga dalam pencegahan risiko             stunting pada anak di wilayah kerja puskesmas sungai kakap kabupaten kubu raya. Jurnal                     Keperawatan Dan Kesehatan, 13(2), 78-83.

Kementerian Kesehatan RI. (2022). Buku Saku Pencegahan Stunting. 

Kementerian Kesehatan RI. (2022). Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022.

Kementerian PPN/Bappenas. (2021). Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting.

Maryani, S., Mundarti, M., & Yuniyanti, B. (2024). Pendampingan Keluarga Peduli Stunting Sebagai             Upaya Pencegahan Stunting. JMM (Jurnal Masyarakat Mandiri), 8(1), 125-134.

Prakoso, A. D., Azmiardi, A., Febriani, G. A., & Anulus, A. (2021). Studi case control: Pemantauan                 pertumbuhan, pemberian makan dan hubungannya dengan stunting pada anak panti asuhan di kota           semarang. Jurnal Ilmu Kesehatan Bhakti Husada: Health Sciences Journal, 12(2), 160–172.                 https://doi.org/10.34305/jikbh.v12i2.336

UNICEF. (2020). The 1,000 Days: The Foundation for a Child’s Lifelong Health. 

WHO. (2020). Stunting in a Nutshell. 


Selasa, 26 November 2024

Literature Review: Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kasus Diabetes Mellitus Tipe 2 di Jakarta

 

Literature Review:  Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kasus Diabetes Mellitus Tipe 2 di Jakarta

Disusun Oleh: Direktorat Penelitian dan Pengembangan ISMKMI Jakarta Raya 2024

Inayah Safitri Hanifah, Luthfiyah Azzahra P.A.S.A, Sovia Septiani, Tiara Rahmadini,
Meltina Ratu Eka Maharani
 
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Indonesia Maju 

(sunber: freepik)

Abstrak

Diabetes mellitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit kronis yang prevalensinya tinggi di wilayah Jakarta. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor risiko yang berkontribusi seperti, faktor perilaku yaitu aktivitas fisik dan merokok serta faktor individu yaitu usia, riwayat hipertensi, obesitas, dan riwayat keluarga diabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur review yaitu mengkaji artikel yang diperoleh dari database online (Google Scholar). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling dominan mempengaruhi terjadinya diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta adalah hipertensi. Adapun faktor lain yang berpengaruh yaitu perilaku merokok, faktor genetik atau memiliki riwayat keluarga terkena diabetes melitus, dan usia.

 

Kata Kunci : Diabetes Mellitus, Jakarta, Diabetes Mellitus Tipe 2, Faktor Risiko

 

Abstract

Type 2 Diabetes Mellitus is one of the chronic diseases with a high prevalence in Jakarta. This condition is caused by various contributing risk factors, including behavioral factors such as physical activity and smoking, as well as individual factors such as age, history of hypertension, obesity, and family history of diabetes. This study aims to explore the various factors influencing the occurrence of Type 2 Diabetes Mellitus in Jakarta. The research method used is a literature review by analyzing articles obtained from online databases (Google Scholar). The results indicate that hypertension is the most dominant risk factor affecting the occurrence of Type 2 Diabetes Mellitus in Jakarta. Other influencing factors include smoking behavior, genetic factors or family history of diabetes, and age.

Keywords : Diabetes Mellitus, Jakarta, Type 2 Diabetes, Risk Factors

 

PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) atau yang biasa dikenal dengan penyakit kencing manis merupakan salah satu jenis penyakit degeneratif yang semakin meningkat setiap tahunnya di negara-negara di dunia. Diabetes melitus merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit yang mengancam nyawa masyarakat Indonesia dan sifatnya  kompleks (Qomariyah Mulia Agung, 2022). Diabetes adalah penyakit kronis serius yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah), atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya (Haskas et al., 2021).

Defisiensi fungsi dan sekresi insulin diawali dengan terjadinya prediabetes yang merupakan prakondisi diabetes. Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit kronis yang dapat menimbulkan efek samping jika tidak ditangani secara efektif (Abrar et al., 2020). Penyakit diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) yang kita kenal sebagai penyakit kencing manis adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Penyakit diabetes melitus semakin banyak diderita penduduk dunia. Jumlah penderita diabetes melitus bertambah karena usia harapan hidup (UHH) semakin meningkat, terutama di negara-negara maju sehingga berdampak pada jumlah penderita diabetes melitus di dunia.

Diabetes adalah penyakit tidak menular yang termasuk dalam golongan ke 7 penyakit  penyebab kematian secara global. WHO memperkirakan lebih dari 420 juta orang  menderita diabetes dan jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 570 juta pada tahun 2030 dan menjadi 700 juta pada tahun 2045 (WHO, 2020). Sejak edisi pertama pada tahun 2000, Organisasi International Diabetes Federation (IDF) tahun 2021 memperkirakan prevalensi diabetes pada orang dewasa berumur 20-79 tahun telah  meningkat lebih dari tiga kali lipat, dari sekitar 151 juta (4,6% dari populasi global pada saat itu) menjadi 537 juta (10,5%) saat ini. Pada tahun 2021 ada 17,7 juta lebih banyak pria daripada wanita yang hidup dengan diabetes. Jumlah ini diperkirakan meningkat 643 juta orang akan menderita diabetes pada tahun 2030 (11,3% dari populasi) dan menjadi 783 juta (12,2%) pada tahun 2045.

Provinsi di Indonesia yang menduduki peringkat pertama dengan angka prevalensi diabetes mellitus tipe 2 tertinggi adalah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 tersebut naik dalam kurun waktu lima tahun dari data Riskesdas 2013 yang sebelumnya sebesar 2,5% di tahun 2018 naik menjadi 3,4% dari total 10,5 juta jiwa atau sekitar 250 ribu penduduk di DKI Jakarta yang menderita diabetes mellitus tipe 2. Jakarta Timur berada pada posisi kedua tertinggi terbanyak penderita diabetes mellitus tipe 2 di DKI Jakarta. Berdasarkan Laporan Triwulan 1 dan 2 Program PTM Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Timur 2021, DM tetap menduduki posisi kedua terbanyak pada rekapitulasi kunjungan penyakit tidak menular di Jakarta Timur yakni sebesar 57.190 kunjungan (Sudinkes Jakarta Timur, 2021).

Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Kota Jakarta Timur merupakan puskesmas peringkat ketiga dari sepuluh kecamatan dengan jumlah terbanyak dalam rekapitulasi kunjungan diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta Timur sebesar 6.536 kunjungan terhitung sejak Januari hingga Juni 2021 (Sudinkes Jakarta Timur, 2021). Pada Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, kasus diabetes mellitus tipe 2 menduduki posisi kedua pada sepuluh penyakit terbanyak tahun 2021 sejak januari hingga juni yakni sebesar 7.982 kasus (43,51%). Namun, capaian standar pelayanan minimal penyandang diabetes mellitus tipe 2 tahun 2021 masih rendah yakni sebesar 34,4% (Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, 2021).

DKI Jakarta menjadi provinsi tertinggi karena banyaknya jumlah penduduk dan sudah banyak tersedia sarana pemeriksaan gula darah. Penelitian yang dilakukan dr. Dicky L. Tahapary, Sp.PD dan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 berkaitan dengan Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), FKUI, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan perusahaan farmasi untuk pengobatan diabetes. Penggambaran ini dilakukan dengan mengumpulkan data Diabetes melalui surveilans dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, dan didapatkan hasil pasien diabetes yang terdaftar di fasilitas kesehatan berjumlah 12.775 jiwa, sehingga dapat disimpulkan walaupun angka penderita diabetes terus meningkat, tetapi masih banyak penderita diabetes yang tidak terdiagnosa karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang diabetes dan penangananya. Hal ini disebabkan karena kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kadar gula darah secara rutin di fasilitas pelayanan kesehatan masih rendah yakni hanya 53% yang mengetahui adanya skrining diabetes bisa dilakukan di Puskesmas Wilayah DKI Jakarta.

Kejadian diabetes mellitus tipe 2 pada anak-anak dan remaja usia produktif semakin meningkat. Diabetes mellitus tipe 2 sering juga disebut Diabetes Lifestyle karena penyebabnya selain faktor keturunan ada juga faktor lingkungan yang meliputi usia, obesitas, resistensi insulin makanan, aktivitas fisik, dan gaya hidup penderita yang tidak sehat pun ikut berperan. Berdasarkan fakta tersebut, maka sangat diperlukan usaha untuk pencegahan diabetes mellitus tipe 2 yang cepat dan tepat. Meninjau dari tingginya faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta melalui pengamatan literatur.

 

METODE

Penelitian ini menggunakan metode literature review. Adapun strategi pencarian untuk memperoleh artikel menggunakan fasilitas database online melalui Google Scholar. Kata kunci yang digunakan adalah faktor risiko; determinan; diabetes mellitus tipe 2; Jakarta. Artikel yang dipilih berdasarkan publikasi tahun 2020 - 2024. Penelitian ini akan mereview 11 studi yang dilakukan di Indonesia, khususnya Jakarta terkait penyakit diabetes mellitus tipe 2. Kriteria inklusi yang digunakan adalah jurnal yang memiliki kelengkapan data yang relevan dengan tujuan dan Indonesia full text, dan Jurnal yang memiliki struktur lengkap. Adapun kriteria eksklusinya adalah jurnal yang hanya membahas diabetes melitus tanpa ada kata tipe 2 dan jurnal yang dilakukan di luar DKI Jakarta. 

 

HASIL PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil kajian dari 11 jurnal penelitian yang diperoleh, terdapat beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta.

 

Hubungan Usia dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Usia merupakan salah satu faktor risiko yang tidak bisa diubah dengan seiring bertambahnya usia, tubuh secara alami mengalami proses penuaan yang menyebabkan penurunan aktivitas metabolisme. Penurunan ini berpengaruh pada kemampuan tubuh dalam mengatur kadar gula darah sehingga meningkatkan risiko terjadinya resisten insulin maupun gangguan pada pankreas. Kondisi ini membuat tubuh menjadi lebih rentan terhadap berbagai gangguan kesehatan terhadap diabetes mellitus (Laila and Veronika, 2024).

Menurut  hasil  penelitian Tabitha, Syarif, dan Wahyono (2024) menyatakan bahwa umur memiliki hubungan yang signifikan  dengan terjadinya diabetes mellitus tipe 2. Penelitian ini telah dilakukan pada Masyarakat di wilayah kerja puskesmas kebon baru, Jakarta Selatan dengan membagi dua kelompok usia, yaitu diatas 45 tahun dan 45 tahun kebawah.  Kelompok umur diatas 45 tahun memiliki risiko sebesar 3,15 kali terkena diabetes melitus dibandingkan kelompok umur 45 tahun ke bawah. Adapun penelitian lain yang relevan dilakukan oleh Suci dan Ginting (2023) pada masyarakat puskesmas Johar Baru, Jakarta Pusat. Penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan pada variabel usia terhadap terjadinya diabetes mellitus tipe 2 dengan risiko sebesar 2,893.

 

Hubungan Hipertensi dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang sulit diubah. Penderita hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik, sering kali mengalami perubahan dalam fungsi metabolisme tubuh. Tekanan darah tinggi dapat merusak pembuluh darah dan mempengaruhi aliran darah ke organ-organ vital, termasuk pankreas, yang berperan dalam pengaturan kadar gula darah dan pada akhirnya memperbesar kemungkinan berkembangnya diabetes mellitus tipe 2.

Menurut  hasil  penelitian yang dilakukan oleh (Resti dan Cahyati, 2022) dan (Tabitha, Syarif and Wahyono, 2024) menyatakan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara hipertensi dan diabetes mellitus dengan p-value 0,67. Hal ini juga berkontradiktif dengan beberapa penelitian lain yang menunjukkan adanya hubungan antara hipertensi dan peningkatan risiko diabetes mellitus. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Rediningsih dan Lestari (2022) menemukan bahwa hipertensi dapat mempengaruhi kemampuan tubuh dalam mengatur kadar gula darah, yang berpotensi meningkatkan risiko terjadinya diabetes, dengan peluang risiko 7,857 kali dibandingkan orang yang tidak hipertensi. Perbedaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi kondisi kedua penyakit, seperti gaya hidup, pola makan, atau genetika, yang dapat bervariasi antara populasi yang diteliti.

 

Hubungan Genetik dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Faktor genetik memainkan peran penting sebagai salah satu risiko yang tidak dapat dihindari pada penyakit diabetes mellitus. Seseorang yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit ini dapat meningkatkan kemungkinan untuk mengalaminya. Menurut  hasil  penelitian yang dilakukan oleh Tabitha, Syarif, dan Wahyono (2024) menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara hubungan genetik dengan diabetes mellitus pada masyarakat di puskesmas kebon baru, Jakarta selatan tahun 2020. Seseorang yang mempunyai keluarga pengidap diabetes memiliki risiko sebesar 5,33 kali terkena diabetes mellitus dari pada orang yang tidak memiliki keluarga dengan riwayat diabetes mellitus. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Resti dan Cahyati (2022), pada masyarakat di wilayah puskesmas Pasar Rebo. Dimana hasil uji statistiknya mendapatkan P-value 0,025 (<0,05) yang berarti terdapat hubungan signifikan antara genetik terhadap kejadian diabetes mellitus. Sedangkan peluang mendapat diabetes mellitus tipe 2 pada seseorang yang memiliki riwayat keluarga diabetes mellitus sebesar 2,53 kali berisiko dibandingkan seseorang yang tidak memiliki riwayat keluarga diabetes mellitus.

 

Hubungan Merokok dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Perilaku merokok dapat mempunyai risiko lebih tinggi terjadinya resistensi insulin. Hal ini disebabkan pengaruh nikotin yang menurunkan pelepasan insulin  dalam tubuh sehingga berkembang kearah resisten insulin (Dianti, Setiawaty and Noviyanti, 2022). Hasil  penelitian yang dilakukan oleh (Resti and Cahyati, 2022) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel perilaku merokok terhadap diabetes mellitus, dengan peluang terkena diabetes mellitus sebesar 5,57 kali dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Artinya, individu yang memiliki kebiasaan merokok lebih rentan untuk mengalami gangguan metabolisme, termasuk diabetes mellitus tipe 2. Kebiasaan merokok tidak hanya mempengaruhi fungsi insulin, tetapi juga meningkatkan risiko peradangan dan stres oksidatif dalam tubuh, yang dapat memperburuk kondisi kesehatan secara keseluruhan.

 

KESIMPULAN

            Berdasarkan hasil penelusuran, hipertensi merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya penyakit diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta. Kemudian, disusul oleh faktor perilaku merokok, faktor genetik atau mempunyai keluarga pengidap diabetes melitus, dan usia. Adapun faktor-faktor dalam setiap jurnal tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu faktor yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah adalah hipertensi, faktor genetik atau memiliki keluarga pengidap diabetes melitus, dan usia. Meskipun status hipertensi tidak dapat diubah, tetapi penyakit ini dapat dikontrol. Apabila penderita hipertensi terkontrol dengan baik, maka dapat mengurangi risiko berkembangnya diabetes mellitus tipe 2. Sementara itu, faktor yang dapat diubah adalah perilaku merokok.

Faktor genetik ternyata juga memainkan peran penting, di mana individu dengan riwayat keluarga diabetes memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami penyakit ini. Selain itu, kebiasaan merokok juga signifikan meningkatkan risiko diabetes melalui pengaruh nikotin yang mengganggu pelepasan insulin dan memperburuk fungsi metabolisme tubuh. Deteksi dini dan pemeriksaan rutin kadar gula darah, khususnya pada kelompok berisiko tinggi, sangat penting untuk dilakukan. Langkah-langkah ini diharapkan dapat membantu mengurangi prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 di Jakarta sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

1.        Abrar, M., et al. (2020). Defisiensi fungsi dan sekresi insulin diawali dengan terjadinya prediabetes yang merupakan prakondisi diabetes.

2.        Haskas, et al. (2021). Diabetes sebagai penyakit kronis serius: Penyebab dan implikasinya.

3.        International Diabetes Federation (IDF). (2021). Prevalensi Diabetes Global 2000-2045.

4.        Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). (2020). Global Diabetes Report.

5.        Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo. (2021). Laporan Kunjungan Penyakit Tidak Menular di Jakarta Timur Tahun 2021.

6.        Qomariyah, M. A. (2022). Peningkatan Kasus Diabetes Melitus sebagai Penyakit Degeneratif. 

7.       Sudinkes Jakarta Timur. (2021). Laporan Triwulan Program PTM Kota Administrasi Jakarta Timur.

8.        Dianti, A.R., Setiawaty, S. and Noviyanti, S.R. (2022) ‘Analisis Risiko dan Perilaku Pencegahan Penyakit DM Tipe 2 Pada Usia Produktif di Wilayah DKI Jakarta Tahun 2021’, Journal of Public Health Education, 1(02), pp. 82–90. Available at: https://doi.org/10.53801/jphe.v1i02.49.

9.        Laila, S. and Veronika, E. (2024) ‘Faktor yang Berhubungan dengan Diabetes Melitus Tipe 2’, Surya Medika: Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan dan Ilmu Kesehatan Masyarakat [Preprint].

10.    Resti, H.Y. and Cahyati, W.H. (2022) ‘Kejadian Diabetes Melitus pada Usia Produktif di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo’.

11.    Suci, T. and Ginting, J.B. (2023) ‘PENGARUH FAKTOR USIA, INDEKS MASSA TUBUH, DAN KADAR GULA DARAH TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT DIABETES MELITUS TIPE 2’, 6.

12.    Tabitha, R., Syarif, S. and Wahyono, T.Y.M. (2024) ‘Factors Related to the Incidence of Diabetes Mellitus in the Kebon Baru Primary Health Center in South Jakarta in 2020’, Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia (MPPKI), 7(7), pp. 1884–1895. Available at: https://doi.org/10.56338/mppki.v7i7.5444.

13.    Seila Delfina, Carolita, I., Shafa Habsah, & Syi'ta Ayatillahi. (2021). ANALISIS DETERMINAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN DIABETES MELLITUS TIPE 2 PADA USIA PRODUKTIF. Jurnal Kesehatan Tambusai, 2(4), 141–151. https://doi.org/10.31004/jkt.v2i4.2823

14.    Rediningsih, D., & Lestari, I. (2022). Riwayat Keluarga dan Hipertensi Dengan Kejadian Diabetes Melitus tipe II. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat Indonesia, 3(1), 8-13. https://doi.org/10.15294/jppkmi.v3i1.52087

 

Kamis, 14 November 2024

MENGGALI PENYEBAB MENTAL ILLNESS DI JAKARTA: TANTANGAN DAN SOLUSI

 MENGGALI PENYEBAB MENTAL ILLNESS DI JAKARTA: TANTANGAN DAN SOLUSI

Disusun Oleh: Badan Khusus Pemerhati Anak dan Remaja ISMKMI Jakarta Raya 2024


ilustrasi mental illnes (sumber:https://www.freepik.com)

PENDAHULUAN

Latar belakang

            Menurut World Health Organization (WHO), mental illness merupakan kondisi yang mempengaruhi pikiran, perasaan, perilaku, atau suasana hati, atau gabungan dari semuanya. WHO juga menyebutkan bahwa satu dari lima anak dan remaja di dunia mengalami gangguan mental. Menurut Westhuizen dkk, 2023 dalam Jurnal Permatahati, F. & Ihdalumam, A. (2023), sekitar 13% dari 1,2 Miliar remaja di dunia memiliki permasalahan tentang kesehatan mental yang meliputi depresi, kecemasan, dan permasalahan yang mampu membuat remaja membuat keputusan untuk mengakhiri hidupnya (Permatahati, 2023).

            Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2023), prevalensi gangguan mental emosional pada remaja (15-24 tahun) di Indonesia mencapai 2,8%, dan prevalensi depresi sebesar 2% pada kelompok usia yang sama serta menjadi kelompok dengan tingkat depresi tertinggi di Indonesia (Kementerian Kesehatan RI, 2023). Hal tersebut menunjukkan bahwa gangguan kesehatan mental pada remaja juga menjadi isu serius di Indonesia, termasuk di Jakarta, yang memerlukan perhatian lebih.

            Survei Kesehatan Indonesia (2023) mencatat prevalensi gangguan mental emosional di DKI Jakarta sebesar 2,3% dan depresi 1,5%. Selain itu, penelitian yang dilakukan di beberapa wilayah Jakarta menunjukan angka kasus variasi kasus yang signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Haniyah et. al. (2022) di SMKN 62 Jakarta Selatan menyatakan bahwa 90,9% dari 178 remaja teridentifikasi memiliki masalah kesehatan mental. Di Jakarta Pusat, penelitian pada siswa SMAN 7 Jakarta Pusat menunjukkan bahwa 56,9% dari 153 siswa mengalami gangguan mental emosional (Fazariyah & Azzahrah, 2024). Di Jakarta Barat, penelitian di SMA Negeri 78 menemukan bahwa 41% dari 68 responden memiliki skor gangguan emosional dan perilaku yang berada dalam kategori borderline dan abnormal (Iskandar, 2021). Data tersebut menunjukan pentingnya perhatian khusus pada kesehatan mental remaja di Jakarta untuk mencegah dampak jangka panjang.

Rumusan Masalah

1. Apa faktor utama penyebab mental illness di kalangan remaja Jakarta?

2. Bagaimana urgensi kesehatan mental bagi remaja di Jakarta?

3. Apa saja kelemahan dalam pelaksanaan program terkait mental illness yang dapat diperbaiki?

Prioritas Masalah

Prioritas Masalah Berdasarkan survei nasional dan penelitian di berbagai sekolah di Jakarta, berikut urutan prioritas masalah kesehatan mental di Jakarta.

1.      Gangguan mental emosional dengan prevalensi sebesar 2,8% pada remaja usia 15-24 tahun di tingkat nasional dan prevalensi sebesar 2,3% di DKI Jakarta berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023.

2.      Depresi dengan prevalensi sebesar 2% pada remaja usia 15-24 tahun di tingkat nasional dan prevalensi sebesar 1,5% di DKI Jakarta berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023.


PEMBAHASAN

Urgensi Kesehatan Mental Remaja di Jakarta

            Data penelitian terkait masalah kesehatan mental pada remaja di Jakarta menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental remaja di Jakarta menjadi isu yang serius dan memerlukan perhatian lebih. Masalah kesehatan mental pada remaja memiliki dampak jangka panjang yang signifikan, baik bagi individu, maupun masyarakat secara keseluruhan. Remaja yang mengalami gangguan mental berisiko mengalami penurunan prestasi akademik, keterbatasan sosial, serta peningkatan perilaku berisiko. Jika tidak ditangani, gangguan mental pada remaja dapat berkembang menjadi kondisi yang lebih parah di masa dewasa, yang berkontribusi pada peningkatan beban kesehatan masyarakat, tingginya angka ketergantungan, dan pengeluaran biaya kesehatan. Oleh karena itu, penanganan isu kesehatan mental remaja menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan secara sistematis melalui kebijakan yang terstruktur dan dukungan lintas sektor

Faktor Penyebab

            Beberapa faktor yang mempengaruhi kesehatan mental remaja di Jakarta tidak lepas dari adanya peran orangtua, keluarga, teman sebaya, dan lingkungan. Faktor orang tua seperti pola asuh yang otoriter, pola komunikasi yang buruk kepada anak, perceraian orang tua berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Tekanan dari teman sebaya juga berkontribusi, terutama ketika remaja mengalami eksklusi dari kelompok sosial, contohnya bullying di sekolah. Selain itu, hubungan antar teman sebaya yang kompetitif dalam meraih prestasi dan untuk terus menjadi yang terbaik di antara temannya juga membuat remaja mengalami gangguan kecemasan (Haniyah et. al., 2022; Iskandar, 2021; Fazariyah & Azzahrah, 2024).

            Selain itu, lingkungan juga memiliki dampak signifikan dalam pembentukan karakter dan kesehatan mental remaja. Lingkungan yang tidak mendukung dapat menyebabkan perasaan tidak aman dan nyaman, yang pada akhirnya memicu kecemasan, ketakutan, dan kesedihan pada remaja. Faktor ekonomi juga memainkan peran penting karena kesulitan finansial dalam keluarga berpotensi menimbulkan konflik keluarga yang memperburuk kesehatan mental anak-anak dan remaja. Sementera itu, keluarga yang berpenghasilan menengah ke atas juga berisiko mengalami gangguan mental emosional karena penyalahgunaan alkohol dan terlarang (Haniyah et. al., 2022; Iskandar, 2021; Fazariyah & Azzahrah, 2024).

            Peningkatan masalah kesehatan mental pada remaja di Jakarta juga disebabkan oleh kurangnya edukasi mengenai kesehatan mental. Tingginya tingkat stres di kota ini memperparah situasi dan meningkatkan kebutuhan akan layanan kesehatan mental yang memadai. Meskipun Undang-Undang Kesehatan Jiwa Nomor 18 Tahun 2014 telah mengatur tentang promosi kesehatan mental, implementasinya di berbagai wilayah masih menghadapi kendala, seperti minimnya dukungan infrastruktur dan tenaga profesional yang terlatih.

 Evaluasi Program

                Program Youth Mental Health Center (YMHC) oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga adalah langkah strategis untuk mengatasi masalah kesehatan mental pemuda Indonesia. Namun, seperti program lainnya, YMHC memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu dievaluasi untuk pengembangan kedepannya. Evaluasi ini akan membahas kedua aspek tersebut untuk memberikan gambaran tentang efektivitas dan tantangan implementasi YMHC di berbagai wilayah.

             Salah satu keunggulan utama dari YMHC adalah dukungan kebijakan yang kuat. Program ini didesain untuk diimplementasikan hingga tingkat daerah, mencakup provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia, sehingga layanan kesehatan mental dapat menjangkau pemuda di berbagai wilayah. Selain itu, keunggulan YMHC adalah penerapan konsep Olah Rasa yang digagas oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga, di mana konsep ini menekankan pentingnya pemuda menghadapi tantangan tanpa jatuh ke perilaku destruktif, seperti penyalahgunaan narkoba. Dengan demikian, program ini tidak hanya menyediakan dukungan kesehatan mental tetapi juga berfungsi sebagai upaya pencegahan terhadap perilaku berisiko tinggi.

            Keunggulan lainnya adalah fokus program pada penyelesaian masalah pemuda secara langsung. YMHC menyediakan ruang bagi pemuda untuk berbicara tentang permasalahan pribadi mereka, membantu mereka mengatasi hambatan mental yang mungkin mereka hadapi. Ini menjadi langkah penting dalam membentuk generasi muda yang lebih sehat dan kuat secara mental.

            Program YMHC juga telah mendapat dukungan luas di berbagai daerah yang menunjukkan adanya komitmen dari berbagai pihak untuk mengimplementasikan YMHC di seluruh wilayah Indonesia. Dengan advokasi dan dukungan yang tepat, YMHC memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi program yang merata dan berkelanjutan.

            Namun, implementasi program ini menghadapi beberapa tantangan. Meskipun kebijakan untuk program ini sudah ada, penerapannya di daerah belum berjalan optimal. Banyak daerah masih menghadapi kesulitan dalam menjalankan program tersebut, terutama karena minimnya dukungan lokal dalam hal sumber daya manusia dan fasilitas. Ini menjadi kendala utama dalam memastikan bahwa setiap pemuda di seluruh Indonesia dapat mengakses layanan kesehatan mental yang memadai. Selain itu, keterbatasan fasilitas dan sumber daya menjadi masalah signifikan dalam pelaksanaan YMHC.

            Program YMHC masih memerlukan infrastruktur yang cukup serta tenaga ahli yang terlatih untuk memastikan bahwa setiap daerah dapat memberikan layanan sesuai standar yang telah ditetapkan. Tanpa fasilitas yang memadai, program ini berisiko tidak mencapai target yang diharapkan

Solusi Inovatif

            Evaluasi program sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat tantangan dalam penerapan layanan kesehatan mental remaja di tingkat lokal, seperti keterbatasan infrastruktur dan sumber daya. Hal ini mengakibatkan remaja di beberapa daerah sulit mengakses dukungan kesehatan mental yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, kami menyusun inovasi program Rangkul Remaja yang diharapkan mampu mengatasi kendala ini melalui pendekatan yang lebih terstruktur dan kolaboratif, serta penggunaan teknologi untuk memperluas jangkauan program.

            Kegiatan dalam program ini dimulai dengan sesi edukasi dan skrining kesehatan mental menggunakan website SIMPATIQ milik RS Soeharto Heerdjan yang memungkinkan remaja untuk mengevaluasi kondisi mereka secara anonim dan aman. Setelah skrining, remaja yang membutuhkan dukungan lebih lanjut dapat diarahkan ke sesi konseling individu atau peerkonseling sesuai kebutuhan remaja yang bersangkutan.

            Program ini melibatkan peran lintas sektor dalam implementasinya, seperti kerja sama dengan RS Soeharto Heerdjan untuk layanan psikologis lanjutan, serta sekolah-sekolah yang menjadi tempat penyelenggaraan edukasi dan intervensi berbasis sekolah. Organisasi komunitas lokal juga berperan dalam membantu penyebaran informasi dan menjangkau remaja di berbagai komunitas, termasuk membantu meningkatkan kesadaran melalui kegiatan yang melibatkan masyarakat. Kolaborasi ini memastikan bahwa setiap komponen dari program Rangkul Remaja, termasuk penggunaan SIMPATIQ, dapat diakses oleh semua remaja di Jakarta, sehingga layanan kesehatan mental bisa lebih merata dan tepat sasaran.


PENUTUP

Simpulan

            Permasalahan kesehatan mental remaja di Jakarta menjadi isu serius yang perlu ditangani melalui program yang sistematis dan kolaboratif. Evaluasi program YMHC menunjukkan pentingnya dukungan sumber daya yang memadai. Program Rangkul Remaja, dengan pendekatan berbasis teknologi dan kolaborasi lintas sektor dapat menjadi solusi inovatif untuk memperluas akses layanan kesehatan mental yang efektif bagi remaja di Jakarta.

Saran

1. Dukungan Kebijakan

Pemerintah perlu memperkuat peraturan dan regulasi yang mendukung pencegahan dan penanganan isu-isu kesehatan mental di kalangan remaja, baik di tingkat daerah maupun nasional. 

2. Penguatan Infrastruktur dan SDM

Pemerintah perlu meningkatkan kapasitas infrastruktur dan sumber daya manusia di bidang kesehatan mental, terutama di daerah-daerah yang masih kekurangan tenaga profesional.

3. Pemanfaatan Teknologi

Program kesehatan mental yang berbasis teknologi harus diperluas ke wilayah lain di Indonesia agar seluruh remaja dapat mengakses layanan yang dibutuhkan.


DAFTAR PUSTAKA

Fajariyah, N., & Azzahrah, D. (2024). Hubungan Peran dan Pola Komunikasi Keluarga     Dengan                         Gangguan Mental Emosional Pada Remaja di SMAN 7 Jakarta Pusat. MANUJU: Malahayati                  Nursing Journal, 6 (3), 1037-1050.

Haniyah, F. N., Novita, A., & Ruliani, S. N. (2022). Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua,         Teman             Sebaya, Lingkungan Tempat Tinggal dan Sosial Ekonomi Dengan Kesehatan           Mental                     Remaja. Open Access Jakarta Journal of Health Science, 1(7), 242-250.

Iskandar, N. A., Ingkiriwang, E., & Tania, E. (2021). Gambaran Kesehatan Mental            Emosional                 Siswa SMA Tahun 2020 Menggunakan Strengths and Difficulties           Questionnaire. Jurnal                 Kedokteran Meditek, 27 (3), 203-212.

Kementerian Kesehatan RI. (2023). Survei Kesehatan Indonesia Tahun 2023.

Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. (2024). Laporan kinerja   Kementerian                         Pemuda dan Olahraga tahun 2023. Jakarta: Kementerian Pemuda dan      Olahraga Republik                  Indonesia.

Permatahati, F., & Ihdalumam, A. (2023). Promosi Kesehatan Mental Sebagai Upaya untuk                                  Mewujudkan Remaja Menuju Pribadi yang Positif: Kajian Literatur Review