Konsumsi produk tembakau
merupakan salah satu tantangan
kesehatan masyarakat di negara Indonesia
yang masih terus dicari jalan keluarnya. Produk tembakau yang dimaksud dalam PP No. 109 tahun 2012 yaitu suatu
produk yang secara keseluruhan atau sebagian terbuat dari daun tembakau sebagai
bahan bakunya yang diolah untuk digunakan dengan cara dibakar, dihisap, dan
dihirup ataupun dikunyah. Walaupun keberadaan Industri Hasil Tembakau (IHT) di
Indonesia memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan negara
melalui cukai dan pajak hasil tembakau serta membuka lapangan pekerjaan bagi
masyarakat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa produk tembakau mengandung zat
adiktif dan bahan lainnya yang berbahaya bagi kesehatan, baik efek yang
ditimbulkan secara langsung maupun tidak langsung.
Salah satu
produk tembakau yang sudah tidak asing lagi di masyarakat yaitu produk rokok.
Rokok biasanya berbentuk silinder dari kertas berukuran panjang antara 70
hingga 120 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Menurut WHO prevalensi merokok di Indonesia menjadi
salah satu tertinggi di dunia, dimana 62,9% laki-laki dewasa merupakan perokok
aktif. Penggunaan tembakau telah membunuh sekitar 225.700 orang Indonesia
setiap tahun, serta penggunaan tembakau mengalami peningkatan di kalangan
pemuda.
Penggunaan
produk tembakau seperti rokok menjadi salah satu faktor risiko utama dalam
terjadinya Penyakit Tidak Menular (PTM) yang mana hal tersebut juga berdampak
pada sumber daya yang tersedia. Sebagai contoh, jika PTM semakin tinggi maka
biaya pemberian perawatan terkait PTM pun menjadi semakin tinggi dan berakibat
pada melebarnya defisit Jaminan Kesehatan Kesehatan Nasional. Anggaran
kesehatan yang seharusnya digunakan sebagai upaya cakupan kesehatan semesta di
Indonesia, malah digunakan untuk menutup defisit yang ada. Selain itu,
penggunaan tembakau berdampak pada terjadinya kesakitan dan kematian dini yang
secara langsung tentunya berdampak pula pada produktivitas sumber daya manusia. WHO mencatat bahwa dua pertiga anak di Indonesia
terpapar asap rokok orang lain di rumah dan berkontribusi pada kejadian
stunting yang mana menghambat perkembangan pada masa anak-anak. Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar 2013, salah satu penyebab angka kematian yang tinggi di
Indonesia diakibatkan oleh rokok.
Upaya mengatasi berbagai dampak buruk
akibat konsumsi rokok, maka perlu adanya kebijakan dari pemerintah yang memaksa
konsumen rokok untuk mengurangi atau berhenti mengkonsumsi rokok. Menurut World Health Organization (WHO), cara yang paling efektif untuk mengurangi konsumsi rokok dan angka kematian akibat
konsumsi rokok yaitu dengan cara menaikkan harga produk rokok melalui kenaikan
tarif cukai rokok (Sri Rahayu 2017). Kenaikan tarif
cukai rokok di Indonesia sendiri sudah dilakukan secara berkelanjutan sejak
tahun 1998. Dimana kenaikan tarif cukai rokok yang terjadi pada tahun 2016
berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Pemerintah
selalu menaikan tarif cukai hasil tembakau secara berkala guna menurunkan
tingkat konsumsi rokok masyarakat. Per 1 Januari 2020 harga jual eceran dan
tarif cukai rokok buatan dalam negeri maupun impor kembali mengalami kenaikan
melalui pemberlakuan Peraturan Menteri
Keuangan No. 152 Tahun 2019. Dimana tarif cukai hasil tembakau ditetapkan
berdasarkan parameter yang jelas, logis, dan dapat dipertanggung jawabkan
dengan tetap memperhatikan dampak dan keadilan bagi masyarakat serta
kepentingan negara yang berpihak pada kemaslahatan dan kemanfaatan.
Hasil Tembakau Buatan Dalam
Negeri
No. Urut |
Golongan
pengusaha pabrik hasil tembakau |
Batasan
harga jual eceran per batang atau gram |
Tarif cukai
per batang atau gram |
|
Jenis |
Golongan |
|||
1. |
SKM |
I |
Paling rendah Rp 1.700,00 |
Rp 740,00 |
II |
Lebih rendah RP 1.275,00 |
Rp 470,00 |
||
Paling rendah Rp 1.020,00
sampai dengan Rp 1.275,00 |
Rp 455,00 |
|||
2. |
SPM |
I |
Paling rendah Rp 1.790,00 |
Rp 790,00 |
II |
Lebih dari Rp 1.485,00 |
Rp 485,00 |
||
Paling rendah Rp 1.015,00 sampai dengan Rp
1.485,00 |
Rp 470,00 |
Sumber:
Permenkeu No. 152 Tahun 2019
Untuk melihat
apakah kebijakan terkait kenaikan harga jual
rokok benar-benar diimplementasikan di masyarakat dan pengaruhnya terhadap jumlah konsumsi rokok, maka TCD Jakarta Raya melakukan
survei harga produk rokok di beberapa lokasi yang termasuk di wilayah Jakarta Raya, serta melakukan wawancara dengan beberapa perokok terkait persepsi mereka akan kebijakan
kenaikan harga rokok.
Pada tanggal 13
November 2020, dilakukan survei
harga rokok di Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat. Dari hasil wawancara dengan
salah satu pemilik warung yang tidak disebutkan namanya, diketahui merek produk
rokok yang mengalami kenaikan harga hanya Sampoerna Mild. Dimana mengalami
kenaikan setiap 2-3 bulan dengan kisaran kenaikan harga 2-3 ribu rupiah, yang
awalnya berkisar Rp 23.000 menjadi Rp 25.000-26.000 per bungkus (16 batang). Pemilik warung mengaku bahwa kenaikan harga rokok
tidak sampai menyentuh harga Rp 30.000 per bungkusnya,
karena
menurutnya tidak akan laku di pasaran.
Namun harga tersebut belum sesuai dengan ketentuan batasan harga jual eceran
per batang
jenis SKM (Sigaret Kretek Mesin) golongan 1, yang mana
paling rendah Rp1.700 per batang atau Rp27.200 per bungkusnya.
Setelah adanya
kenaikan harga rokok, ternyata peminat rokok juga tidak mengalami penurunan yang signifikan, malah
mereka beralih pada rokok yang harganya lebih murah. Sementara dari hasil wawancara dengan salah satu
perokok
aktif, beliau mengaku setelah
adanya kenaikan harga rokok hanya membeli setengah bungkus rokok saja. Malah
beliau mencari tempat lain seperti di agen yang bahkan lokasinya lumayan jauh
dari tempat tinggal, hal itu dilakukan untuk mendapatkan merek rokok yang sama dengan
harga yang lebih murah.
Kemudian pada tanggal 15 November 2020, dilakukan survei harga
rokok di Jakarta Barat, Bekasi, Banten, dan Jakarta Selatan dengan hasil sebagai berikut. Dari hasil wawancara dengan salah satu pemilik warung
di Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, diketahui bahwa dua bulan terakhir
rokok merek Malboro kemasan merah mengalami kenaikan dari
Rp 26.000 menjadi Rp 27.500 per bungkus dan Malboro kemasan hitam juga
mengalami kenaikan dari Rp 24.500 menjadi Rp 26.000 atau Rp1.300 per batangnya.
Harga tersebut belum sesuai dengan batasan harga jual jenis SPM (Sigaret Putih Mesin) golongan 1 paling rendah
Rp1.790 per batang. Setelah adanya kenaikan harga rokok, ternyata jumlah orang
yang membeli rokok di warung tersebut tidak berkurang tetapi pembeli hanya
membeli rokok per batang dan ada yang setengah bungkus juga. Sementara dari hasil
wawancara dengan salah satu perokok aktif, beliau mengaku setelah adanya kenaikan
rokok pun tidak akan mengurangi konsumsi rokok.
Dari hasil survei
harga rokok di Kecamatan Jatirangga, Bekasi, diketahui bahwa pada
awal tahun 2020 terdapat merek rokok yang mengalami kenaikan yaitu rokok
Malboro kemasan merah yang mencapai harga Rp 30.000 per bungkus dan rokok
Malboro kemasan hitam mencapai harga Rp 28.000 per bungkusnya atau Rp1400 per batangnya. Setelah adanya kenaikan
harga rokok, ternyata jumlah orang yang membeli rokok di warung tersebut tidak
berkurang, malah mereka beralih untuk membeli rokok yang harganya lebih murah.
Sementara dari hasil wawancara dengan salah satu perokok aktif, beliau mengaku mengurangi
konsumsi rokok setelah adanya kenaikan harga rokok, yang biasanya membeli satu
bungkus untuk satu hari menjadi satu bungkus untuk 2-3 hari dan terkadang
beralih membeli rokok dengan harga yang murah.
Lalu survei
harga rokok yang dilakukan di Kabupaten Serang, Banten, diketahui bahwa harga
rokok sangat bervariatif, mulai dari harga Rp 13.000 untuk merek Gudang Garam
kemasan merah sampai harga Rp 31.000 untuk merek Sampoerna Mild dan Marlboro.
Sementara itu kenaikan harga rokok ternyata tidak terjadi pada semua merek
rokok. Hanya merek rokok Marlboro dan Sampoerna Mild saja yang mengalami
kenaikan yang cukup signifikan. Dimana rokok Marlboro mengalami kenaikan dari
Rp 28.000 menjadi Rp 31.000 dan rokok Sampoerna Mild dari Rp 30.000 menjadi
Rp31.000.
Harga tersebut memang lebih tinggi
daripada di daerah lain, tetapi harga tersebut terbilang masih belum sesuai dengan batasan harga jual eceran. Setelah
adanya kenaikan harga rokok, ternyata jumlah orang yang membeli rokok di warung
tersebut tidak mengalami penurunan yang signifikan, mereka justru beralih untuk membeli rokok yang harganya lebih
murah atau membeli per batangan.
Di
Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta
Selatan,
hanya terdapat beberapa merek rokok
yang
mengalami kenaikan seperti Rokok Filter Rp 18.000 menjadi Rp 20.000 dan
merk rokok Sampoerna Mild dari harga Rp 23.000 menjadi Rp 25.000 per bungkus.
Setelah adanya kenaikan harga rokok, ternyata jumlah orang yang membeli rokok
di warung tersebut tidak mengalami penurunan, tetapi pembeli beralih membeli
rokok dengan merek rokok yang lebih murah dan terdapat juga pembeli yang tetap
membeli rokok dengan harga yang sudah naik. Kemudian di
warung yang berbeda ternyata tidak ada kenaikan harga rokok sama sekali, setiap bulannya normal, namun memang
berbeda dengan di minimarket.
“Tetep merokok
sih biar harga rokok naik, karena bisa berimajinasi dan kalo lagi pusing atau
bimbang bisa menemukan jalan keluarnya dengan ngerokok. Kalo ingin para
perkokok berhenti merokok ya pabrik rokoknya harus ditutup.” Ucap salah satu
perokok aktif yang tidak disebutkan namanya.
Pada tanggal 16
November 2020, survei harga rokok dilakukan di Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi. Diketahui bahwa dua
bulan terakhir tidak terjadi perubahan harga rokok secara drastis, hanya berkisar Rp 1.500 yaitu terjadi pada rokok
merek Sampoerna Mild. Setelah adanya kenaikan harga rokok, ternyata jumlah
orang yang membeli rokok di warung tersebut tidak mengalami penurunan, namun
rata-rata pembeli beralih untuk membeli secara per batang.
Bedasarkan hasil
survei yang dilakukan, harga beberapa merek rokok memang mengalami kenaikan.
Akan tetapi ketentuan batasan harga jual rokok sebagaimana tercantum dalam
Permenkeu No. 152 tahun 2019 belum diimplementasikan sepenuhnya di masyarakat. Harga jual rokok yang ditemukan jika dihitung harga
per batangnya masih dibawah dari batasan. Dibandingkan dengan negara lain seperti Australia
yang menetapkan harga jual rokok perbungkusnya mencapai Rp285 ribu, kemudian
Selandia Baru yang harga rokok perbungkus bersikas Rp256 ribu. Kebijakan tarif
cukai dan harga jual rokok di Indonesia masih tergolong rendah.
Menurut
Chaloupka dalam
(Sarosa and Purwanti 2019),
kebijakan yang cukup efektif untuk menekan konsumsi rokok yaitu dengan menaikan
tarif cukai rokok. Namun dalam penelitian yang dilakukan Sarosa dan Purwanti,
hanya ada 26% perokok aktif yang mengalami penurunan konsumsi rokok, malah 2%
perokok mengalami kenaikan konsumsi rokok setelah adanya kenaikan harga rokok. Hal
ini dikarenakan kenaikan harga rokok belum cukup tinggi.
Semakin muda responden mengawali untuk
merokok, maka semakin sulit untuk berhenti merokok. Karena itu banyak perokok
pada usia awal merokok dibawah 30 tahun yang memutuskan untuk mengonsumsi rokok
pada jumlah yang tetap walaupun harga rokok meningkat. Pengaruh pendapatan terhadap jumlah
konsumsi rokok juga tidak memiliki hubungan yang signifikan. Justru banyak yang
beralih ke rokok yang lebih murah, sehingga jumlah konsumsi rokok pun semakin
bertambah.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan (Sri Rahayu 2017), kenaikan harga
rokok hanya
mampu menurunkan konsumsi rokok
bagi perokok yang tidak memiliki penghasilan seperti mahasiswa dan orang dengan
penghasilan menengah ke bawah. Namun angka penurunan tersebut juga tidak
terlalu signifikan. Semakin tinggi kenaikan harga rokok, maka semakin banyak
perokok yang akan mengurangi konsumsi rokok. Namun lagi-lagi, sebagian besar perokok memilih untuk tetap beralih ke
merek rokok yang lebih murah (Kartika et al. 2019).
Kenaikan harga
rokok ternyata
juga belum bisa menjadi harapan
untuk menurunkan konsumsi rokok di Indonesia dan melindungi kesehatan generasi muda. Tidak adanya pengaruh signifikan antara kenaikan tarif cukai rokok terhadap konsumsi rokok
di masyarakat. Para perokok aktif
memutuskan untuk tetap merokok dan cenderung beralih dengan merk rokok yang
lebih murah atau membeli per batang. Kenaikan cukai
dan batasan harga jual rokok yang lebih besar akan
lebih efektif untuk mengurangi jumlah konsumsi rokok di Indonesia.
REFERENSI
Kartika, Widya, Rahmanda M. Thaariq, Dwi Rahayu Ningrum, and
Herni Ramdlaningrum. 2019. “Pengaruh Tingginya Kenaikan Harga Rokok Terhadap Kebiasaan
Merokok Di Indonesia: Apa Kata Perokok.” PRAKARSA.
Sarosa, Chaviannisa Sagitha, and
Evi Yulia Purwanti. 2019. “Pengaruh Kenaikan Harga Rokok, Pendapatan Dan
Karakteristik Perokok Terhadap Konsumsi Rokok Di Kota Semarang.” Journal of
Economics 1 (1): 22–30. https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/dje.
Sri Rahayu. 2017. “Analisis Dampak
Kenaikan Tarif Cukai Rokok Terhadap Konsumsi Rokok Di Kota Pasuruan.”
Universitas Brawijaya.
Kebijakan:
Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi
Kesehatan
Peraturan Menteri Keuangan No. 152 tahun 2019
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017
tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau