Sabtu, 28 November 2020

KENAIKAN HARGA ROKOK: BISAKAH MENJADI SEBUAH HARAPAN?


Konsumsi produk tembakau merupakan salah satu tantangan kesehatan masyarakat di negara Indonesia yang masih terus dicari jalan keluarnya. Produk tembakau yang dimaksud dalam PP No. 109 tahun 2012 yaitu suatu produk yang secara keseluruhan atau sebagian terbuat dari daun tembakau sebagai bahan bakunya yang diolah untuk digunakan dengan cara dibakar, dihisap, dan dihirup ataupun dikunyah. Walaupun keberadaan Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan negara melalui cukai dan pajak hasil tembakau serta membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa produk tembakau mengandung zat adiktif dan bahan lainnya yang berbahaya bagi kesehatan, baik efek yang ditimbulkan secara langsung maupun tidak langsung.

Salah satu produk tembakau yang sudah tidak asing lagi di masyarakat yaitu produk rokok. Rokok biasanya berbentuk silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Menurut WHO prevalensi merokok di Indonesia menjadi salah satu tertinggi di dunia, dimana 62,9% laki-laki dewasa merupakan perokok aktif. Penggunaan tembakau telah membunuh sekitar 225.700 orang Indonesia setiap tahun, serta penggunaan tembakau mengalami peningkatan di kalangan pemuda.

Penggunaan produk tembakau seperti rokok menjadi salah satu faktor risiko utama dalam terjadinya Penyakit Tidak Menular (PTM) yang mana hal tersebut juga berdampak pada sumber daya yang tersedia. Sebagai contoh, jika PTM semakin tinggi maka biaya pemberian perawatan terkait PTM pun menjadi semakin tinggi dan berakibat pada melebarnya defisit Jaminan Kesehatan Kesehatan Nasional. Anggaran kesehatan yang seharusnya digunakan sebagai upaya cakupan kesehatan semesta di Indonesia, malah digunakan untuk menutup defisit yang ada. Selain itu, penggunaan tembakau berdampak pada terjadinya kesakitan dan kematian dini yang secara langsung tentunya berdampak pula pada produktivitas sumber daya manusia. WHO mencatat bahwa dua pertiga anak di Indonesia terpapar asap rokok orang lain di rumah dan berkontribusi pada kejadian stunting yang mana menghambat perkembangan pada masa anak-anak. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, salah satu penyebab angka kematian yang tinggi di Indonesia diakibatkan oleh rokok.

Upaya mengatasi berbagai dampak buruk akibat konsumsi rokok, maka perlu adanya kebijakan dari pemerintah yang memaksa konsumen rokok untuk mengurangi atau berhenti mengkonsumsi rokok. Menurut World Health Organization (WHO), cara yang paling efektif untuk mengurangi konsumsi rokok dan angka kematian akibat konsumsi rokok yaitu dengan cara menaikkan harga produk rokok melalui kenaikan tarif cukai rokok (Sri Rahayu 2017). Kenaikan tarif cukai rokok di Indonesia sendiri sudah dilakukan secara berkelanjutan sejak tahun 1998. Dimana kenaikan tarif cukai rokok yang terjadi pada tahun 2016 berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Pemerintah selalu menaikan tarif cukai hasil tembakau secara berkala guna menurunkan tingkat konsumsi rokok masyarakat. Per 1 Januari 2020 harga jual eceran dan tarif cukai rokok buatan dalam negeri maupun impor kembali mengalami kenaikan melalui pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan No. 152 Tahun 2019. Dimana tarif cukai hasil tembakau ditetapkan berdasarkan parameter yang jelas, logis, dan dapat dipertanggung jawabkan dengan tetap memperhatikan dampak dan keadilan bagi masyarakat serta kepentingan negara yang berpihak pada kemaslahatan dan kemanfaatan.

 

Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri

No. Urut

Golongan pengusaha pabrik hasil tembakau

Batasan harga jual eceran per batang atau gram

Tarif cukai per batang atau gram

Jenis

Golongan

1.

SKM

I

Paling rendah Rp 1.700,00

Rp 740,00

II

Lebih rendah RP 1.275,00

Rp 470,00

Paling rendah Rp 1.020,00 sampai dengan Rp 1.275,00

Rp 455,00

2.

SPM

I

Paling rendah Rp 1.790,00

Rp 790,00

II

Lebih dari Rp 1.485,00

Rp 485,00

Paling rendah Rp 1.015,00 sampai dengan Rp 1.485,00

Rp 470,00

Sumber: Permenkeu No. 152 Tahun 2019

 

Untuk melihat apakah kebijakan terkait kenaikan harga jual rokok benar-benar diimplementasikan di masyarakat dan pengaruhnya terhadap jumlah konsumsi rokok, maka TCD Jakarta Raya melakukan survei harga produk rokok di beberapa lokasi yang termasuk di wilayah Jakarta Raya, serta melakukan wawancara dengan beberapa perokok terkait persepsi mereka akan kebijakan kenaikan harga rokok.

Pada tanggal 13 November 2020, dilakukan survei harga rokok di Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat. Dari hasil wawancara dengan salah satu pemilik warung yang tidak disebutkan namanya, diketahui merek produk rokok yang mengalami kenaikan harga hanya Sampoerna Mild. Dimana mengalami kenaikan setiap 2-3 bulan dengan kisaran kenaikan harga 2-3 ribu rupiah, yang awalnya berkisar Rp 23.000 menjadi Rp 25.000-26.000 per bungkus (16 batang). Pemilik warung mengaku bahwa kenaikan harga rokok tidak sampai menyentuh harga Rp 30.000 per bungkusnya, karena menurutnya tidak akan laku di pasaran. Namun harga tersebut belum sesuai dengan ketentuan batasan harga jual eceran per batang jenis SKM (Sigaret Kretek Mesin) golongan 1, yang mana paling rendah Rp1.700 per batang atau Rp27.200 per bungkusnya.

Setelah adanya kenaikan harga rokok, ternyata peminat rokok juga tidak mengalami penurunan yang signifikan, malah mereka beralih pada rokok yang harganya lebih murah. Sementara dari hasil wawancara dengan salah satu perokok aktif, beliau mengaku setelah adanya kenaikan harga rokok hanya membeli setengah bungkus rokok saja. Malah beliau mencari tempat lain seperti di agen yang bahkan lokasinya lumayan jauh dari tempat tinggal, hal itu dilakukan untuk mendapatkan merek rokok yang sama dengan harga yang lebih murah.

Kemudian pada tanggal 15 November 2020, dilakukan survei harga rokok di Jakarta Barat, Bekasi, Banten, dan Jakarta Selatan dengan hasil sebagai berikut. Dari hasil wawancara dengan salah satu pemilik warung di Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, diketahui bahwa dua bulan terakhir rokok merek Malboro kemasan merah mengalami kenaikan dari Rp 26.000 menjadi Rp 27.500 per bungkus dan Malboro kemasan hitam juga mengalami kenaikan dari Rp 24.500 menjadi Rp 26.000 atau Rp1.300 per batangnya. Harga tersebut belum sesuai dengan batasan harga jual jenis SPM (Sigaret Putih Mesin) golongan 1 paling rendah Rp1.790 per batang. Setelah adanya kenaikan harga rokok, ternyata jumlah orang yang membeli rokok di warung tersebut tidak berkurang tetapi pembeli hanya membeli rokok per batang dan ada yang setengah bungkus juga. Sementara dari hasil wawancara dengan salah satu perokok aktif, beliau mengaku setelah adanya kenaikan rokok pun tidak akan mengurangi konsumsi rokok.

Dari hasil survei harga rokok di Kecamatan Jatirangga, Bekasi, diketahui bahwa pada awal tahun 2020 terdapat merek rokok yang mengalami kenaikan yaitu rokok Malboro kemasan merah yang mencapai harga Rp 30.000 per bungkus dan rokok Malboro kemasan hitam mencapai harga Rp 28.000 per bungkusnya atau Rp1400 per batangnya. Setelah adanya kenaikan harga rokok, ternyata jumlah orang yang membeli rokok di warung tersebut tidak berkurang, malah mereka beralih untuk membeli rokok yang harganya lebih murah. Sementara dari hasil wawancara dengan salah satu perokok aktif, beliau mengaku mengurangi konsumsi rokok setelah adanya kenaikan harga rokok, yang biasanya membeli satu bungkus untuk satu hari menjadi satu bungkus untuk 2-3 hari dan terkadang beralih membeli rokok dengan harga yang murah.

Lalu survei harga rokok yang dilakukan di Kabupaten Serang, Banten, diketahui bahwa harga rokok sangat bervariatif, mulai dari harga Rp 13.000 untuk merek Gudang Garam kemasan merah sampai harga Rp 31.000 untuk merek Sampoerna Mild dan Marlboro. Sementara itu kenaikan harga rokok ternyata tidak terjadi pada semua merek rokok. Hanya merek rokok Marlboro dan Sampoerna Mild saja yang mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Dimana rokok Marlboro mengalami kenaikan dari Rp 28.000 menjadi Rp 31.000 dan rokok Sampoerna Mild dari Rp 30.000 menjadi Rp31.000. Harga tersebut memang lebih tinggi daripada di daerah lain, tetapi harga tersebut terbilang masih belum sesuai dengan batasan harga jual eceran. Setelah adanya kenaikan harga rokok, ternyata jumlah orang yang membeli rokok di warung tersebut tidak mengalami penurunan yang signifikan, mereka  justru beralih untuk membeli rokok yang harganya lebih murah atau membeli per batangan.

Di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, hanya terdapat beberapa merek rokok yang mengalami kenaikan seperti Rokok Filter Rp 18.000 menjadi Rp 20.000 dan merk rokok Sampoerna Mild dari harga Rp 23.000 menjadi Rp 25.000 per bungkus. Setelah adanya kenaikan harga rokok, ternyata jumlah orang yang membeli rokok di warung tersebut tidak mengalami penurunan, tetapi pembeli beralih membeli rokok dengan merek rokok yang lebih murah dan terdapat juga pembeli yang tetap membeli rokok dengan harga yang sudah naik. Kemudian di warung yang berbeda ternyata tidak ada kenaikan harga rokok sama sekali, setiap bulannya normal, namun memang berbeda dengan di minimarket.

“Tetep merokok sih biar harga rokok naik, karena bisa berimajinasi dan kalo lagi pusing atau bimbang bisa menemukan jalan keluarnya dengan ngerokok. Kalo ingin para perkokok berhenti merokok ya pabrik rokoknya harus ditutup.” Ucap salah satu perokok aktif yang tidak disebutkan namanya.

Pada tanggal 16 November 2020, survei harga rokok dilakukan di Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi. Diketahui bahwa dua bulan terakhir tidak terjadi perubahan harga rokok secara drastis, hanya berkisar Rp 1.500 yaitu terjadi pada rokok merek Sampoerna Mild. Setelah adanya kenaikan harga rokok, ternyata jumlah orang yang membeli rokok di warung tersebut tidak mengalami penurunan, namun rata-rata pembeli beralih untuk membeli secara per batang.

Bedasarkan hasil survei yang dilakukan, harga beberapa merek rokok memang mengalami kenaikan. Akan tetapi ketentuan batasan harga jual rokok sebagaimana tercantum dalam Permenkeu No. 152 tahun 2019 belum diimplementasikan sepenuhnya di masyarakat. Harga jual rokok yang ditemukan jika dihitung harga per batangnya masih dibawah dari batasan. Dibandingkan dengan negara lain seperti Australia yang menetapkan harga jual rokok perbungkusnya mencapai Rp285 ribu, kemudian Selandia Baru yang harga rokok perbungkus bersikas Rp256 ribu. Kebijakan tarif cukai dan harga jual rokok di Indonesia masih tergolong rendah.

Menurut Chaloupka dalam (Sarosa and Purwanti 2019), kebijakan yang cukup efektif untuk menekan konsumsi rokok yaitu dengan menaikan tarif cukai rokok. Namun dalam penelitian yang dilakukan Sarosa dan Purwanti, hanya ada 26% perokok aktif yang mengalami penurunan konsumsi rokok, malah 2% perokok mengalami kenaikan konsumsi rokok setelah adanya kenaikan harga rokok. Hal ini dikarenakan kenaikan harga rokok belum cukup tinggi.

Semakin muda responden mengawali untuk merokok, maka semakin sulit untuk berhenti merokok. Karena itu banyak perokok pada usia awal merokok dibawah 30 tahun yang memutuskan untuk mengonsumsi rokok pada jumlah yang tetap walaupun harga rokok meningkat. Pengaruh pendapatan terhadap jumlah konsumsi rokok juga tidak memiliki hubungan yang signifikan. Justru banyak yang beralih ke rokok yang lebih murah, sehingga jumlah konsumsi rokok pun semakin bertambah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Sri Rahayu 2017), kenaikan harga rokok hanya mampu menurunkan konsumsi rokok bagi perokok yang tidak memiliki penghasilan seperti mahasiswa dan orang dengan penghasilan menengah ke bawah. Namun angka penurunan tersebut juga tidak terlalu signifikan. Semakin tinggi kenaikan harga rokok, maka semakin banyak perokok yang akan mengurangi konsumsi rokok. Namun lagi-lagi, sebagian besar perokok memilih untuk tetap beralih ke merek rokok yang lebih murah (Kartika et al. 2019).

Kenaikan harga rokok ternyata juga belum bisa menjadi harapan untuk menurunkan konsumsi rokok di Indonesia dan melindungi kesehatan generasi muda. Tidak adanya pengaruh signifikan antara kenaikan tarif cukai rokok terhadap konsumsi rokok di masyarakat. Para perokok aktif memutuskan untuk tetap merokok dan cenderung beralih dengan merk rokok yang lebih murah atau membeli per batang. Kenaikan cukai dan batasan harga jual rokok yang lebih besar akan lebih efektif untuk mengurangi jumlah konsumsi rokok di Indonesia.

 


 

REFERENSI

Kartika, Widya, Rahmanda M. Thaariq, Dwi Rahayu Ningrum, and Herni Ramdlaningrum. 2019. “Pengaruh Tingginya Kenaikan Harga Rokok Terhadap Kebiasaan Merokok Di Indonesia: Apa Kata Perokok.” PRAKARSA.

Sarosa, Chaviannisa Sagitha, and Evi Yulia Purwanti. 2019. “Pengaruh Kenaikan Harga Rokok, Pendapatan Dan Karakteristik Perokok Terhadap Konsumsi Rokok Di Kota Semarang.” Journal of Economics 1 (1): 22–30. https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/dje.

Sri Rahayu. 2017. “Analisis Dampak Kenaikan Tarif Cukai Rokok Terhadap Konsumsi Rokok Di Kota Pasuruan.” Universitas Brawijaya.

Kebijakan:

Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan

Peraturan Menteri Keuangan No. 152 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau