Sabtu, 08 Februari 2025

Literature Review: Perjalanan Regulasi Tenaga Kesehatan Masyarakat

Literature Review: Perjalanan Regulasi Tenaga Kesehatan Masyarakat

 

 Disusun Oleh: Direktorat Keilmuan dan Keprofesian ISMKMI Jakarta Raya 2024

Anak Agung Dewi Anjani, Adhytiya Puji Pertiwi, Alifia Berdiza Pudja, 

Nurul Ahfiani, Riris Kurniawati


Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


ABSTRAK

Perjalanan regulasi bagi tenaga kesehatan masyarakat di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan. Meskipun demikian, masih terdapat sejumlah tantangan dan kendala dalam implementasinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis berbagai kendala yang dihadapi dalam perjalanan regulasi bagi tenaga kesehatan masyarakat, selain itu penelitian ini juga mengusulkan beberapa rekomendasi untuk mengatasi tantangan tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kepustakaan, yaitu dengan menganalisis berbagai literatur yang relevan dari database online (Google Scholar dan situs website resmi). Hasil pembahasan menunjukkan bahwa dari beberapa regulasi yang ada, ditemukan beberapa masalah yang masih menjadi kendala dalam perjalanan regulasi bagi tenaga kesehatan masyarakat, yakni masih adanya tumpang tindih regulasi, kurangnya koordinasi antar lembaga, serta keterbatasan sumber daya. Namun dengan terus adanya perkembangan dari regulasi tersebut yang makin menemukan titik terang, maka diharapkan dapat membuat kinerja para tenaga kesehatan masyarakat untuk lebih maksimal kedepannya.


Kata Kunci: Regulasi, Tantangan, Tenaga Kesehatan Masyarakat


ABSTRACT

The regulatory journey for public health workers in Indonesia has undergone several changes. However, there are still a number of challenges and obstacles in its implementation. The purpose of this study is to analyze the various obstacles faced in the course of regulation for public health workers, and to propose several recommendations to overcome these challenges. The research method used in this study is the literature study method, namely by analyzing various relevant literature from online databases (Google Scholar and official websites). The results of the discussion show that from several existing regulations, several problems were found that are still an obstacle in the course of regulation for public health workers, namely the existence of overlapping regulations, lack of coordination between institutions, and limited resources. However, with the continued development of these regulations which are increasingly finding bright spots, it is hoped that the performance of public health workers will be maximized in the future.


Keywords: Regulation, Challenges, Public Health Workers


PENDAHULUAN

Sektor kesehatan di Indonesia merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan nasional. Tenaga kesehatan memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan merata bagi seluruh masyarakat. Untuk mendukung hal tersebut, berbagai regulasi telah dikeluarkan oleh pemerintah sebagai landasan dalam pengelolaan dan pengembangan tenaga kesehatan.

Pertama, UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan menjadi dasar hukum yang mengatur profesi tenaga kesehatan di Indonesia. Undang-undang ini menetapkan standar kompetensi, hak, dan kewajiban tenaga kesehatan, serta mekanisme pengawasan yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme di bidang ini. Dengan adanya regulasi ini, diharapkan tenaga kesehatan dapat memberikan layanan yang optimal dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Selanjutnya, UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan muncul sebagai respons terhadap kebutuhan untuk memperkuat sistem kesehatan nasional. UU ini tidak hanya mencakup aspek pelayanan kesehatan, tetapi juga menekankan pentingnya pencegahan dan promosi kesehatan. Dengan fokus yang lebih luas ini, tenaga kesehatan diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat secara menyeluruh.

Untuk memastikan implementasi yang efektif dari UU No. 17 Tahun 2023, pemerintah menerbitkan PP No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2023. Peraturan ini memberikan pedoman yang jelas mengenai tata cara pelaksanaan kebijakan kesehatan, termasuk pengaturan yang lebih rinci terkait tenaga kesehatan. Hal ini penting agar setiap tenaga kesehatan memiliki acuan yang jelas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka. Di samping itu, KMK RI No. HK.01.07/MENKES/1337/2024 menetapkan standar kompetensi bagi tenaga kesehatan masyarakat. Standar ini dirancang untuk memastikan bahwa tenaga kesehatan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai, serta mampu beradaptasi dengan perkembangan dan kebutuhan di lapangan. Peningkatan kompetensi menjadi kunci dalam menghadapi tantangan kesehatan yang terus berubah. Akhirnya, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penyelenggaraan Puskesmas diharapkan dapat memperkuat fungsi puskesmas sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan di masyarakat. Puskesmas memiliki peran strategis dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar, dan regulasi ini akan memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai penyelenggaraan dan pengelolaan puskesmas secara efektif. Secara keseluruhan, berbagai regulasi ini saling melengkapi dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan serta layanan kesehatan di Indonesia. Dengan memahami dan menerapkan aturan-aturan tersebut, diharapkan tenaga kesehatan dapat berkontribusi secara maksimal dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai implementasi dan dampak dari regulasi-regulasi tersebut dalam pengembangan tenaga kesehatan di Indonesia.


METODE

Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan, di mana peneliti menganalisis berbagai literatur yang relevan seperti jurnal ilmiah, artikel, dan laporan penelitian untuk memahami berbagai regulasi kesehatan yang berfokus pada permasalahan kesehatan masyarakat. Peneliti juga memanfaatkan sumber daring seperti Google Scholar dan situs website resmi untuk menemukan penelitian terbaru yang relevan dengan topik tersebut.


HASIL PEMBAHASAN

  1. Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan 

Undang - Undang nomor 36 tahun 2014 berlandaskan pada pemikiran pada pembukaan UUD 1945 menyatakan cita-cita bangsa Indonesia, yang juga mencerminkan tujuan nasional untuk seluruh tumpah darah Indonesia, serta bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Kanter, 2016). Dalam konteks ini, tenaga kesehatan memiliki peran yang sangat penting dalam mencapai tujuan tersebut.

Meskipun undang-undang ini berdasarkan atas prinsip-prinsip yang kuat, namun masih ada beberapa kerancuan yang perlu diselesaikan. Salah satunya adalah posisi tenaga kesehatan masyarakat. Menurut Pasal 11, tenaga kesehatan masyarakat termasuk dalam definisi tenaga kesehatan secara keseluruhan. Akan tetapi, pada Pasal 44 dinyatakan bahwa setiap tenaga kesehatan yang melakukan praktik wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) setelah memenuhi syarat-syarat tertentu seperti memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi. Namun demikian, sampai saat ini, tenaga kesehatan masyarakat belum memiliki status profesi sehingga menyebabkan ketidakjelasan dalam pelaksanaannya. Hal ini mengakibatkan banyak pertanyaan dan keraguan terkait dengan hak dan tanggung jawab mereka dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Kerancuan perundangan-undangan tersebut memunculkan inisiatif Uji Kompetensi Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (UKAKMI) oleh IAKMI dan AIPTKMI pada 2018 bertujuan memastikan kompetensi tenaga kesehatan yang diduga berhubungan dengan penerbitan STR. Namun, Persakmi menilai ini sebagai maladministrasi karena tidak memenuhi syarat peserta sesuai Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, pasal 21 ayat 1 yang menyatakan ujian hanya untuk mahasiswa akhir pendidikan profesi. Pada akhirnya Ombudsman menemukan maladministrasi dalam penyelenggaraan ujian tersebut, termasuk pengenaan biaya tanpa dasar hukum dan pelanggaran transparansi. Hal ini menyoroti perlunya regulasi yang jelas terkait proses pengadaan STR untuk tenaga kesehatan masyarakat.

Pelanggaran tersebut terjadi karena adanya kerancuan dalam peraturan perundangan dengan kondisi di lapangan. Diharapkan pemerintah dapat membuat regulasi yang menjadi payung hukum yang jelas bagi tenaga kesehatan masyarakat, sehingga dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka.


  1. Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Pada tanggal 08 Agustus 2023, Presiden Republik Indonesia akhirnya menandatangani UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 11 Juli 2023 (Kesuma, 2024). Pasca terbit, UU ini memiliki beberapa kelebihan, yang meliputi perlindungan akan hak pasien, peningkatan kualitas layanan kesehatan, penguatan peran tenaga kesehatan non-dokter, serta pengaturan telemedicine dan teknologi kesehatan. Akan tetapi, ditemukan pula kelemahan dalam UU ini, antara lain ketidakjelasan dalam beberapa rumusan pasal, dan potensi konflik antar profesi kesehatan. UU No. 17 Tahun 2023 ini disahkan karena beberapa urgensi penting salah satunya untuk membuat layanan kesehatan lebih mudah diakses, dan juga menjadi payung hukum bagi para tenaga kesehatan. Namun, sejak disahkannya UU No. 17 Tahun 2023 ini muncul beberapa permasalahan, salah satunya dalam kebijakan bagi tenaga kesehatan masyarakat.

Hal ini dapat terlihat dari ketidakjelasan posisi tenaga kesehatan masyarakat di dunia kesehatan. Masalah yang perlu disoroti adalah kurangnya kejelasan regulasi tentang status profesi kesehatan masyarakat yang dimana hingga saat ini belum ada titik terang terkait pendidikan profesi bagi kesehatan masyarakat. Selanjutnya, pendidikan vokasi dan pendidikan profesi wajib mengikuti uji kompetensi yang merupakan salah satu syarat wajib untuk memperoleh STR bagi tenaga kesehatan masyarakat juga masih mengandung kontradiksi tersendiri terkait dengan sinkronisasi kebijakan yang ada dengan kondisi di lapangan. Sementara itu, masalah proses registrasi tenaga kesehatan masyarakat juga perlu disoroti lebih lanjut. Menurut pakar hukum Dr. Roberia, STR bukanlah surat izin, melainkan hanya sekedar pencatatan. Jadi, registrasi tenaga kesehatan hanya diperuntukkan bagi lulusan program vokasi, profesi, spesialis, dan subspesialis dan tidak diwajibkan bagi lulusan program akademik (S1, S2, S3) (Rosita dkk., 2023). Dari pernyataan tersebut, jelas tidak ada kewajiban bagi tenaga kesehatan masyarakat untuk dicatat/didaftarkan. Seperti yang diketahui, belum adanya pendidikan profesi bagi lulusan kesehatan masyarakat.

UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dapat dikatakan telah membawa perubahan yang signifikan terhadap sistem kesehatan Indonesia, namun masih diperlukan perubahan dan penyempurnaan lebih lanjut guna menjamin optimalitas dan kepastian hukum sehingga dapat dipastikan pelaksanaan UU berjalan sesuai dengan tujuannya.


  1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2023

PP No. 28 Tahun 2024 dibentuk untuk memberikan pedoman teknis pelaksanaan berbagai ketentuan yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Sebagai dasar hukum pelaksanaan, PP ini memuat aturan rinci untuk berbagai aspek kesehatan, seperti upaya kesehatan, pelayanan kesehatan, pengelolaan sumber daya kesehatan, dan perlindungan kesehatan masyarakat (Kemenkes, 2024).

Pembentukan PP ini bertujuan untuk memastikan sistem kesehatan nasional berjalan secara terintegrasi, bermutu, dan sesuai standar, termasuk dalam aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. PP ini juga bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau. Selain itu, PP ini mengatur peran pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, sehingga pelaksanaannya lebih terarah dan efisien (Kemenkes, 2024).

Pengawasan dan sanksi belum dijelaskan secara jelas pada PP No.28 Tahun 2024 sehingga pelaksanaannya bisa kurang efektif. Edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat juga belum cukup, sehingga banyak yang mungkin tidak memahami peraturan ini. Selain itu, belum ada solusi konkret untuk daerah yang kekurangan tenaga medis atau fasilitas kesehatan, dan ruang untuk inovasi pelayanan kesehatan masih terbatas.

PP No. 28 Tahun 2024 merupakan langkah strategis untuk memperkuat sistem kesehatan nasional, tetapi implementasinya memerlukan perhatian khusus agar tidak menimbulkan interpretasi yang salah di masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi dan edukasi yang komprehensif agar tujuan PP ini dapat tercapai secara efektif tanpa memicu masalah baru.


  1. KMK RI No. HK.01.07/MENKES/1337/2024 tentang Standar Kompetensi Tenaga Kesehatan Masyarakat 

KMK RI No. HK.01.07/MENKES/1337/2024 tentang Standar Kompetensi Tenaga Kesehatan Masyarakat dibentuk untuk menjawab berbagai masalah dalam pelayanan kesehatan masyarakat, antara lain: kurangnya standar yang jelas mengenai standarisasi kompetensi tenaga kesehatan masyarakat, yang berdampak pada kualitas pelayanan, kesenjangan antara kurikulum pendidikan tenaga kesehatan dan kebutuhan nyata di lapangan, serta keterbatasan dalam integrasi layanan kesehatan yang dapat menghambat pencapaian kesehatan masyarakat secara menyeluruh.

Tercantum pada KMK RI No. HK.01.07/MENKES/1337/2024 tentang kelebihan dan kekurangan Standar Kompetensi Tenaga Kesehatan Masyarakat. Kelebihan dari peraturan ini meliputi penetapan standar kompetensi yang jelas, sehingga memudahkan penilaian dan sertifikasi tenaga kesehatan, dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan masyarakat dengan adanya pedoman yang terukur, dan memotivasi tenaga kesehatan masyarakat untuk meningkatkan kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan yang selaras dengan profesi kesehatan masyarakat. Di sisi lain, kekurangan yang ada dalam peraturan ini antara lain tantangan dalam implementasi di lapangan, terutama dalam hal sumber daya dan pelatihan yang memadai, perlunya keterlibatan semua pihak terkait (stakeholder) untuk memastikan keberhasilan standar, dan tenaga kesehatan masyarakat yang profesional dan berpengalaman tetapi mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan standar baru. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2024; World Health Organization, 2022; Sihombing, 2021).


  1. Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penyelenggaraan Puskesmas

Pada tanggal 09 Oktober 2024 telah dilaksanakan Public Hearing: Rancangan Permenkes Penyelenggara Puskesmas oleh Kementerian Kesehatan. Kemudian dari Public hearing tersebut mengemukakan beberapa hal masalah yang perlu diangkat salah satunya, yaitu pengabaian terhadap jenis tenaga kesehatan masyarakat pada pasal 20 Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan mengenai Penyelenggaraan Puskesmas. Sementara itu, dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2023, pasal 199 ayat 6 secara jelas menyebutkan bahwa tenaga kesehatan terdiri dari tenaga kesehatan masyarakat. Hal ini menimbulkan hambatan bagi keberhasilan pelayanan kesehatan masyarakat. Tenaga kesehatan masyarakat memiliki peran strategis dalam upaya promotif dan preventif, yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. 

Pemerintah harus segera memperbaiki regulasi ini untuk memastikan bahwa tenaga kesehatan masyarakat mendapatkan perhatian yang layak. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlunya dilakukan revisi terhadap Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan mengenai Penyelenggaraan Puskesmas, dengan memasukkan secara eksplisit ketentuan mengenai tenaga kesehatan masyarakat.

Setelah dilakukannya Public Hearing: Rancangan Permenkes Penyelenggara Puskesmas oleh Kementerian Kesehatan lahirlah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2024. Salah satu poin penting yang diatur dalam peraturan ini adalah pasal 21 ayat 1, yang menunjukkan komitmen pemerintah dalam memperkuat peran tenaga kesehatan masyarakat. Dengan melibatkan tenaga kesehatan masyarakat secara resmi dalam pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), diharapkan akan ada peningkatan dalam efektivitas dan efisiensi pelayanan kesehatan di Indonesia. Langkah ini merupakan upaya positif menuju sistem kesehatan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.


  1. Surat Edaran Nomor : HK.02.01/MENKES/29/2025 Tentang Penyesuaian Kualifikasi Pendidikan Bagi Tenaga Kesehatan Lulusan Program Sarjana

Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 pada pasal 212 ayat (2) mewajibkan lulusan sarjana kesehatan untuk menyelesaikan pendidikan profesi sebelum praktik. Namun, Mahkamah Konstitusi memberikan pengecualian yang dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024. Mahasiswa yang terdaftar berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang sudah memiliki STR dan SIP tetap diperbolehkan untuk praktik, tetapi diwajibkan menjalani pendidikan profesi tambahan dengan materi dan waktu yang lebih singkat sebelum SIP diperpanjang.

Bagi lulusan atau mahasiswa kesehatan program sarjana yang sudah terdaftar sebelum Undang-Undang Kesehatan terbaru berlaku, terdapat aturan khusus terkait praktik profesi. Bagi lulusan program sarjana yang sudah melakukan pelayanan kesehatan dan telah memiliki STR dan SIP wajib mengikuti Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) sebelum memperpanjang izin praktik. Bagi lulusan program sarjana yang sudah melakukan pelayanan kesehatan dan telah memiliki STR dan SIP dan belum memiliki STR dan SIP wajib STR dan SIP serta mengikuti Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL). 

Sedangkan bagi lulusan program sarjana yang belum memberikan layanan kesehatan atau bagi mahasiswa yang sudah terdaftar sebagai mahasiswa program studi kesehatan sebelum Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 berlaku dapat melanjutkan pendidikan profesi dan lulus ujian kompetensi untuk kemudian memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) atau dapat memberikan layanan kesehatan di fasilitas kesehatan dengan pendampingan dan mendapatkan STR serta SIP selama masa tersebut dan wajib mengikuti pendidikan profesi melalui Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL).


  1. Rekomendasi Bagi Pemerintah

Sampai saat ini kondisi pendidikan profesi bagi tenaga kesehatan masyarakat masih belum juga menemukan titik terang. Oleh sebab itu, kami merekomendasikan pemerintah untuk segera meninjau ulang dan membenahi regulasi yang sudah ada saat ini terkait pendidikan profesi bagi tenaga kesehatan masyarakat. Regulasi yang ada saat ini terkesan masih belum jelas dan implementasinya yang tidak optimal, padahal isu pendidikan profesi ini bukanlah isu baru dan telah lama dinantikan oleh para tenaga kesehatan masyarakat. Kewajiban mengikuti pendidikan profesi bagi lulusan kesehatan masyarakat telah tertuang jelas dalam regulasi. Namun, implementasinya masih menjadi tanda tanya besar karena belum adanya regulasi yang secara spesifik mengatur tentang pendidikan profesi tersebut sehingga menimbulkan kebingungan dan kekhawatiran di kalangan tenaga kesehatan masyarakat. 

Selain itu, standar kurikulum yang tidak jelas menyebabkan ketidakpastian dalam proses pendidikan dan pengembangan tenaga kesehatan masyarakat. Pemerintah perlu menetapkan standar kurikulum yang jelas dan terukur untuk memastikan kualitas pendidikan dan pengembangan tenaga kesehatan masyarakat di seluruh Indonesia. Pemerataan kurikulum yang belum merata di seluruh Indonesia menyebabkan kesenjangan kualitas tenaga kesehatan masyarakat di berbagai daerah. Pemerintah perlu memastikan pemerataan kurikulum di seluruh Indonesia untuk mengurangi kesenjangan kualitas tenaga kesehatan masyarakat di berbagai daerah. Kami berharap pemerintah dapat segera menanggapi rekomendasi ini dan mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaiki regulasi dan standar tenaga kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini penting untuk memastikan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat yang lebih baik di masa depan.


KESIMPULAN

Mengenai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan adalah adanya kerancuan dalam pengaturan posisi tenaga kesehatan masyarakat, yang menyebabkan ketidakjelasan dalam pelaksanaan tugas dan hak mereka. Sementara UU No 17 Tahun 2023 ini masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk menyempurnakan regulasi dan memastikan pelaksanaan undang-undang ini sesuai dengan tujuannya, karena posisi dan regulasi mengenai tenaga kesehatan masyarakat masih belum jelas, dengan masalah terkait pendidikan profesi dan uji kompetensi yang belum terpecahkan. Proses registrasi tenaga kesehatan masyarakat juga menunjukkan adanya ketidakpastian, dimana tidak ada kewajiban untuk mendaftar bagi lulusan program akademik. 

Dalam hal ini, PP No. 28 Tahun 2024 merupakan langkah strategis untuk memperkuat sistem kesehatan nasional, tetapi implementasinya memerlukan perhatian khusus agar tidak menimbulkan interpretasi yang salah di masyarakat. Disisi lain, KMK RI No. HK.01.07/MENKES/1337/2024 menunjukkan bahwa peraturan ini berpotensi meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat melalui penetapan standar kompetensi yang jelas. Kelebihannya mencakup kemudahan dalam penilaian dan sertifikasi serta dorongan untuk peningkatan kompetensi. Namun, tantangan dalam implementasi, seperti keterbatasan sumber daya. Terakhir Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penyelenggaraan Puskesmas juga diharapkan dapat memperkuat peran tenaga kesehatan masyarakat. Dengan melibatkan mereka secara resmi dalam pusat kesehatan masyarakat, diharapkan akan ada peningkatan dalam efektivitas dan efisiensi pelayanan kesehatan. Selanjutnya, kondisi terkini setelah dikeluarkannya Surat Edaran Nomor : HK.02.01/MENKES/29/2025 Tentang Penyesuaian Kualifikasi Pendidikan Bagi Tenaga Kesehatan Lulusan Program Sarjana yang didalamnya dapat diambil kesimpulan bahwa kejelasan regulasi pendidikan profesi bagi tenaga kesehatan masyarakat saat ini tetap belum ada kemajuan yang signifikan, karena terlihat masih belum adanya pembahasan lebih lanjut terkait hal ini.






DAFTAR PUSTAKA

Kanter, F. (2016). SANKSI Bagi Tenaga Kesehatan Yang Melakukan Tindak Pidana Dalam Praktik Pelayanan Kesehatanmenurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014. Lex Privatum, 4(6).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Buku Pedoman Tenaga Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024). Pemerintah Terbitkan Aturan Pelaksana UU Kesehatan. Retrieved from https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20240730/4346114/pemerintah-terbitkan-aturan-pelaksana-uu-kesehatan/

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/1337/2024 tentang Standar Kompetensi Tenaga Kesehatan Masyarakat. (2024). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kesuma, S. I. (2024). Ulasan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Jurnal Nusantara Berbakti, 2(1), 253-261.

Maladministrasi Dalam Penyelenggaraan Uji Kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat; Rekam Jejak Perjuangan. (2019). Persakmi. https://persakmi.or.id/headlines/3120/.

Ombudsman Temukan Maladministrasi Dalam Penyelenggaraan Ujian Kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat. (2019). Ombudsman. https://www.ombudsman.go.id/news/r/ombudsman-temukan-maladministrasi-dalam-penyelenggaraan-ujian-kompetensi-sarjana-kesehatan-masyarakat. 

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pusat Kesehatan Masyarakat. (2024). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. (2024). Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia.

Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penyelenggaraan Puskesmas. (2024). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Rosita, T. A., & Oktamianti, P. (2023). REGISTRASI DAN PERIZINAN TENAGA KESEHATAN MASYARAKAT DALAM PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DAN KEPASTIAN HUKUM. PREPOTIF: JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, 7(3), 16980-16996.

Sihombing, R. (2021). Evaluasi Kebijakan Kesehatan: Konsep dan Praktik di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

Surat Edaran Nomor : HK.02.01/MENKES/29/2025 Tentang Penyesuaian Kualifikasi Pendidikan Bagi Tenaga Kesehatan Lulusan Program Sarjana (2025). Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. (2014). Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. (2023). Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia.

World Health Organization (WHO). (2022). Health Workforce Requirements for Universal Health Coverage and the Sustainable Development Goals. Geneva: WHO.



Rabu, 15 Januari 2025

Peran Media Sosial dalam Meningkatkan Kesadaran Masyarakat tentang Stunting

 

Peran Media Sosial dalam Meningkatkan Kesadaran Masyarakat tentang Stunting

Disusun Oleh: Direktorat Penelitian dan Pengembangan ISMKMI Jakarta Raya 2024


ilustrasi peran media sosial(sumber:https://www.freepik.com/)



Stunting merupakan masalah kesehatan serius bukan sekedar masalah fisik, namun lebih daripada itu. Anak-anak yang mengalami stunting berisiko mengalami hambatan kognitif, keterbatasan perkembangan otak, dan penurunan imunitas. Hasil analisis dalam penelitian yang dilakukan oleh Khatimah et al., (2024) menunjukan bahwa stunting memiliki dampak yang sangat besar terhadap tumbuh kembang anak dan masa  depan bangsa. Anak-anak yang stunting cenderung memiliki kapasitas belajar yang lebih rendah, sehingga mempengaruhi prestasi akademik dan kemampuan mereka untuk bersaing di dunia kerja. Ketika menginjak usia dewasa, stunting juga meningkatkan risiko penyakit tidak menular, seperti diabetes dan hipertensi. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya angka stunting di suatu negara berdampak langsung pada rendahnya kualitas sumber daya manusia. Melihat masih banyaknya  anak  Indonesia  yang  stunting  saat  ini,  sulit  untuk membayangkan bagaimana kondisi sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang. Jika tidak segera diatasi, stunting dapat menjadi batu sandungan besar dalam menciptakan generasi emas yang kita impikan.

Seiring dengan perkembangan teknologi, media sosial menjadi salah satu alat paling efektif untuk menyebarluaskan informasi, termasuk isu-isu kesehatan seperti stunting. Indonesia memiliki penetrasi internet yang tinggi membuat media sosial menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Oleh karena itu, mari kita telusuri lebih jauh bagaimana sosial media dapat menjadi senjata untuk melawan stunting dan mengamankan masa depan generasi penerus bangsa.

1. Media Sosial  sebagai Alat Edukasi Publik

            Era digital seperti saat ini, media sosial memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi mengenai stunting, salah satunya dengan mempermudah akses komunikasi. Platform seperti Instagram, Facebook, TikTok, dan Twitter menjadi alat untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mencegah stunting melalui kampanye yang mudah dipahami dan dapat diakses kapan saja. Berdasarkan penelitian Muttaqin., et al (2024) menunjukkan bahwa kampanye di media sosial berdampak positif dalam upaya pencegahan stunting. Setelah dilakukan kampanye, terjadi peningkatan pengetahuan di masyarakat, sehingga masyarakat menjadi lebih sadar pada penyebab stunting, faktor-faktor risiko, serta dampak negatifnya terhadap perkembangan anak-anak. Selain itu, hal ini juga diiringi dengan perubahan perilaku, dimana masyarakat mulai mengadopsi praktik-praktik sehat dalam merawat anak-anak, seperti memberikan nutrisi yang baik, mengikuti jadwal imunisasi, dan menghindari makanan tidak sehat.

            Media sosial yang semakin canggih dapat menyediakan fitur-fitur yang inovatif dalam penyampaian informasi, contohnya adalah penggunaan audio visual yang dikemas menjadi video menarik. Hal ini menjadi keunggulan media sosial untuk memberikan dampak positif, termasuk pada upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pencegahan stunting. Menurut penelitian Mistari dan Rahim  (2023), menjelaskan bahwa pemanfaatan media sosial yang baik dengan menggunakan video konten edukasi stunting di media sosial dapat mudah disajikan kepada masyarakat dan dapat menjangkau audiens lebih luas, sehingga membantu banyak orang untuk mengakses informasi tentang pertumbuhan anak khususnya stunting.

            Video animasi yang berupa edukasi pentingnya nutrisi untuk tumbuh kembang anak serta dampak stunting menjadi alat yg luar biasa efektif. Gambar animasi yg menarik mudah dipahami dan diingat, membuat masyarakat lebih mudah tergerak untuk melakukan perubahan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai upaya pencegahan stunting. Pendekatan ini tidak hanya mempermudah pemahaman tetapi juga membuat konten edukasi lebih menarik dan mudah diingat (Mistari dan Rahim, 2023).

 

2. Tantangan dan Solusi

Media sosial mempunyai potensi yang besar sebagai alat edukasi publik, namun di sisi lain juga memiliki tantangan yg harus kita hadapi. Salah satu tantangan utamanya adalah maraknya hoax atau informasi yang tidak akurat mengenai kesehatan diikuti dengan kurangnya literasi digital dikalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan tidak semua orang dapat menyaring informasi yang benar sehingga rentan mempercayai berita palsu atau mengambil keputusan yang salah. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak termasuk pemerintah dan lembaga kesehatan dalam memastikan bahwa konten edukasi yang beredar di sosial media adalah informasi yang akurat dan terpercaya. Serta memberikan pelatihan literasi digital bagi masyarakat untuk mengajarkan cara memverifikasi informasi kesehatan secara daring (Aveny, Trio Mahendra, & Saputra, 2023). Masyarakat yang memiliki kemampuan memilah informasi yang benar menjadi modal utama dalam upaya edukasi melalui sosial media yang lebih efektif dan berdampak jangka panjang.

 

3. Dampak positif yang dapat dicapai

Pemanfaatan media sosial dalam mengkampanyekan pencegahan stunting memiliki potensi besar  untuk menciptakan perubahan yang positif sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan  kesadaran di  masyarakat. Masyarakat menjadi lebih memahami kebutuhan nutrisi anak, pentingnya ASI eksklusif, imunisasi, serta menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan untuk mendukung tumbuh kembang anak. Tak hanya itu, pemahaman yang baik akan mendorong perubahan perilaku masyarakat yang tidak hanya berkontribusi pada pengurangan angka stunting, tetapi juga pada pembangunan generasi muda yang lebih sehat, cerdas, dan kompetitif di masa depan.

 

Media sosial dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam menyebarkan informasi terkait stunting karena dapat menjangkau masyarakat secara luas. Namun, keberhasilan dalam melakukan upaya ini membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak termasuk pemerintah, lembaga kesehatan hingga masyarakat. Kolaborasi yang baik akan memastikan bahwa informasi yang disampaikan melalui media sosial valid, akurat, dan dapat dipahami oleh semua kalangan. Mari memanfaatkan media sosial untuk mengedukasi dan melindungi masa depan generasi kita. Dengan membagikan informasi yang benar dan mempraktikkan kebiasaan sehat, kita dapat menurunkan angka stunting dan memastikan Indonesia memiliki generasi yang lebih kuat dan cerdas. Ayo bersama cegah stunting untuk masa depan Indonesia yg lebih baik!

 DAFTAR PUSTAKA

Aveny, A. K. M., Trio Mahendra, Y., & Saputra, D. (2023). Literasi Digital Literasi Digital Sebagai Upaya Menangkal Hoax di Lingkungan Masyarakat Indonesia. Jurnal Tonggak Pendidikan Dasar : Jurnal Kajian Teori Dan Hasil Pendidikan Dasar, 2(1), 32-43. https://doi.org/10.22437/jtpd.v2i1.22866

Mistari, N., & Rahim, R. (2023). Pemanfaatan Media Sosial sebagai Media Penyajian Konten Edukasi Stunting untuk Ibu Hamil. Remik: Riset Dan E-Jurnal Manajemen Informatika Komputer, 7(3), 1276-1290.

Mutaqin, R., Dharmopadni, D. S., & Azwir, M. A. (2024). Peran Media Sosial Dalam Kampanye Kesehatan Anak Untuk Mencegah Stunting. JPMAS: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 2(1).

Khatimah, H., Ramadina, M., & Malta, R. (2024). Sosialisasi Pencegahan dan Penanggulangan Stunting di Kelurahan Teluk Kabung Selatan. Open Community Service Journal, 3(1), 27–32. https://doi.org/10.33292/ocsj.v3i1.62

 

 

Senin, 30 Desember 2024

PERAN KELUARGA DALAM PENCEGAHAN STUNTING

 PERAN KELUARGA DALAM PENCEGAHAN STUNTING 

Disusun Oleh: Direktorat Penelitian dan Pengembangan ISMKMI Jakarta Raya 2024

ilustrasi peran keluarga (sumber:https://www.freepik.com/)

Stunting merupakan salah satu masalah utama dalam bidang kesehatan yang berdampak signifikan pada kondisi kesehatan dan kualitas sumber daya manusia (Agus et al., 2022). Masalah ini terjadi akibat kurangnya asupan gizi kronis yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik, kesakitan, kematian, gangguan perkembangan mental, hingga penurunan kemampuan kognitif dan motorik anak (Hastuti, Kusuma, & Ariyanti, 2022). Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting di Indonesia mengalami penurunan dari 24,4% pada tahun 2021 menjadi 21,6% pada tahun 2022. Walaupun pencapaian ini menunjukkan perbaikan, namun angka ini masih jauh dari target nasional sebesar 14% pada tahun 2024 serta masih memerlukan upaya yang lebih masif serta terintegrasi. Salah satu strategi utama yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan peran keluarga sebagai unit terkecil masyarakat dalam mencegah stunting secara dini. Hal ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Gurmu, E (2018) dalam (Hastuti, L., Kusuma, R. E., & Ariyanti, S, 2022) terkait hubungan struktur peran keluarga dengan stunting anak usia 2-5 tahun menunjukkan bahwa, prevalensi stunting 10% lebih tinggi pada anak yang tinggal dengan keluarga besar dibanding anak yang tinggal dengan keluarga inti. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan agar keluarga memiliki kekuatan untuk menciptakan generasi sehat dan berkualitas, diantaranya:

1.     Peran Keluarga Dalam Pola Asuh

Pola makan sehat sejak dini adalah langkah pertama dalam mencegah stunting (hambatan pertumbuhan). Keluarga memiliki peran penting dalam memperkenalkan anak pada makanan bergizi yang mencakup protein, karbohidrat, lemak sehat, serta vitamin dan mineral. Memberikan contoh perilaku makan yang baik, seperti menghindari konsumsi makanan cepat saji dan menggantinya dengan sayuran, buah-buahan, serta sumber protein hewani seperti ikan dan daging, sangat penting untuk memastikan anak tumbuh dengan kebiasaan makan yang sehat (Maryani, Mundarti, & Yuniyanti, 2024). Ketika sudah terbiasa mengkonsumsi makanan bergizi, risiko stunting akibat kekurangan zat gizi dapat ditekan.

Selain pola makan, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) juga menjadi elemen penting dalam pola asuh yang mendukung tumbuh kembang anak. Orang tua dapat mengajarkan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, menjaga kebersihan lingkungan, serta menjauhkan anak dari sumber penyakit. Tidak hanya itu, menghindari kebiasaan buruk seperti merokok di dekat anak juga berkontribusi terhadap lingkungan sehat yang mendukung pertumbuhan anak.

2.     Memastikan Asupan Gizi Terbaik

Periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari hari pertama kehamilan hingga anak berusia dua tahun, merupakan masa kritis untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Selama periode ini, tubuh dan otak anak berkembang sangat cepat, sehingga kebutuhan nutrisinya harus terpenuhi dengan baik. Untuk ibu hamil, pemenuhan gizi mencakup konsumsi protein untuk pembentukan jaringan tubuh janin, asam folat untuk mencegah cacat tabung saraf, zat besi untuk mencegah anemia, dan kalsium untuk mendukung perkembangan tulang dan gigi janin. Setelah bayi lahir, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan bayi memberikan semua kebutuhan nutrisi yang diperlukan dalam masa pertumbuhannya.  Tidak hanya asi,  makanan pendamping ASI (MPASI) yang bergizi seimbang dengan membatasi asupan gula dan memenuhi kebutuhan gizi harian termasuk karbohidrat, protein hewani, lemak sehat, vitamin, mineral, serta air sejak usia 6 bulan juga sangat penting (Hastuti, Kusuma, & Ariyanti, 2022).

Peran ayah pun tak kalah penting dalam mendukung kesehatan keluarga dengan memastikan ketersediaan bahan makanan bergizi di rumah. Hal ini dapat dilakukan melalui perencanaan anggaran keluarga yang memprioritaskan kebutuhan pangan, membantu ibu memilih bahan makanan sehat, dan memberikan teladan pola makan sehat kepada anak. Selain itu, edukasi kepada ayah mengenai kebutuhan gizi ibu hamil, ibu menyusui, dan anak melalui program di Puskesmas atau Posyandu juga penting untuk meningkatkan kesadaran mereka akan peran gizi dalam mencegah stunting (Maryani, Mundarti, & Yuniyanti, 2024). 

3.     Memantau Kesehatan Anak

Pemantauan kesehatan anak secara rutin di posyandu sangat penting untuk mendeteksi risiko stunting sejak dini. Pengukuran berat badan, tinggi badan, dan status gizi anak diukur secara berkala di posyandu. Menurut Darmawan et al. (2022), kunjungan Posyandu yang kurang dari delapan kali setahun meningkatkan risiko stunting hingga lima kali lipat. Oleh karena itu, orang tua perlu aktif memanfaatkan layanan kesehatan ini untuk memastikan tumbuh kembang anak optimal. Deteksi dini gejala stunting, seperti berat badan atau tinggi badan yang tidak sesuai dengan usia anak, memungkinkan intervensi lebih cepat. Konsultasi dengan tenaga kesehatan di Puskesmas atau Posyandu dapat membantu orang tua mendapatkan saran yang tepat terkait kebutuhan nutrisi dan pola asuh anak (Prakoso et al., 2021).

Selain itu, perlu memperhatikan status imunisasi lengkap karna dapat menjadi salah satu cara mencegah stunting. Imunisasi lengkap dapat melindungi anak dari infeksi yang berisiko menghambat pertumbuhan seperti diare dan pneumonia. Penelitian Darmawan et al. (2022) menunjukkan bahwa 86,4% anak dengan imunisasi lengkap tidak mengalami stunting, sementara anak dengan imunisasi tidak lengkap berisiko empat kali lebih besar mengalami stunting. Oleh karena itu, orang tua perlu memastikan anak mendapatkan imunisasi secara lengkap dan tepat waktu.

Keluarga adalah pondasi utama dalam mencegah stunting. Memulai dari  pola asuh yang tepat, pemenuhan gizi yang optimal, dan pemantauan kesehatan secara rutin, risiko stunting pada anak dapat diminimalkan. Keluarga, terutama peran ayah dan ibu, harus bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal. Dengan memahami peran ini, keluarga dapat memastikan anak-anak Indonesia tumbuh menjadi generasi yang sehat, cerdas, dan produktif.

Daftar Pustaka

 Agus, J., Pitoyo, A., Saputri, R., Eka, A., & Handayani, T. (2022). Analysis of Determinants of Stunting Prevalence among Stunted Toddlers in Indonesia. Populasi, 30(1), 36–49.

Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK Kemenkes) (2023) Survei Kesehatan Indonesia                 2023. Available at: https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/hasil-ski-2023/ (Accessed: 27                 Desember 2024).

Darmawan, A., Reski, R., & Andriani, R. (2022). Kunjungan ANC, posyandu dan imunisasi dengan                 kejadian stunting pada balita di Kabupaten Buton Tengah. Aksi: Jurnal Gizi Aceh , 7 (1), 33–40.             https://doi.org/10.30867/action.v7i1.469

Hastuti, L., Kusuma, R. E., & Ariyanti, S. (2022). Gambaran peran keluarga dalam pencegahan risiko             stunting pada anak di wilayah kerja puskesmas sungai kakap kabupaten kubu raya. Jurnal                     Keperawatan Dan Kesehatan, 13(2), 78-83.

Kementerian Kesehatan RI. (2022). Buku Saku Pencegahan Stunting. 

Kementerian Kesehatan RI. (2022). Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022.

Kementerian PPN/Bappenas. (2021). Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting.

Maryani, S., Mundarti, M., & Yuniyanti, B. (2024). Pendampingan Keluarga Peduli Stunting Sebagai             Upaya Pencegahan Stunting. JMM (Jurnal Masyarakat Mandiri), 8(1), 125-134.

Prakoso, A. D., Azmiardi, A., Febriani, G. A., & Anulus, A. (2021). Studi case control: Pemantauan                 pertumbuhan, pemberian makan dan hubungannya dengan stunting pada anak panti asuhan di kota           semarang. Jurnal Ilmu Kesehatan Bhakti Husada: Health Sciences Journal, 12(2), 160–172.                 https://doi.org/10.34305/jikbh.v12i2.336

UNICEF. (2020). The 1,000 Days: The Foundation for a Child’s Lifelong Health. 

WHO. (2020). Stunting in a Nutshell. 


Selasa, 26 November 2024

Literature Review: Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kasus Diabetes Mellitus Tipe 2 di Jakarta

 

Literature Review:  Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kasus Diabetes Mellitus Tipe 2 di Jakarta

Disusun Oleh: Direktorat Penelitian dan Pengembangan ISMKMI Jakarta Raya 2024

Inayah Safitri Hanifah, Luthfiyah Azzahra P.A.S.A, Sovia Septiani, Tiara Rahmadini,
Meltina Ratu Eka Maharani
 
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Indonesia Maju 

(sunber: freepik)

Abstrak

Diabetes mellitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit kronis yang prevalensinya tinggi di wilayah Jakarta. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor risiko yang berkontribusi seperti, faktor perilaku yaitu aktivitas fisik dan merokok serta faktor individu yaitu usia, riwayat hipertensi, obesitas, dan riwayat keluarga diabetes. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur review yaitu mengkaji artikel yang diperoleh dari database online (Google Scholar). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling dominan mempengaruhi terjadinya diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta adalah hipertensi. Adapun faktor lain yang berpengaruh yaitu perilaku merokok, faktor genetik atau memiliki riwayat keluarga terkena diabetes melitus, dan usia.

 

Kata Kunci : Diabetes Mellitus, Jakarta, Diabetes Mellitus Tipe 2, Faktor Risiko

 

Abstract

Type 2 Diabetes Mellitus is one of the chronic diseases with a high prevalence in Jakarta. This condition is caused by various contributing risk factors, including behavioral factors such as physical activity and smoking, as well as individual factors such as age, history of hypertension, obesity, and family history of diabetes. This study aims to explore the various factors influencing the occurrence of Type 2 Diabetes Mellitus in Jakarta. The research method used is a literature review by analyzing articles obtained from online databases (Google Scholar). The results indicate that hypertension is the most dominant risk factor affecting the occurrence of Type 2 Diabetes Mellitus in Jakarta. Other influencing factors include smoking behavior, genetic factors or family history of diabetes, and age.

Keywords : Diabetes Mellitus, Jakarta, Type 2 Diabetes, Risk Factors

 

PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) atau yang biasa dikenal dengan penyakit kencing manis merupakan salah satu jenis penyakit degeneratif yang semakin meningkat setiap tahunnya di negara-negara di dunia. Diabetes melitus merupakan salah satu dari sekian banyak penyakit yang mengancam nyawa masyarakat Indonesia dan sifatnya  kompleks (Qomariyah Mulia Agung, 2022). Diabetes adalah penyakit kronis serius yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan cukup insulin (hormon yang mengatur gula darah), atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkannya (Haskas et al., 2021).

Defisiensi fungsi dan sekresi insulin diawali dengan terjadinya prediabetes yang merupakan prakondisi diabetes. Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit kronis yang dapat menimbulkan efek samping jika tidak ditangani secara efektif (Abrar et al., 2020). Penyakit diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) yang kita kenal sebagai penyakit kencing manis adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Penyakit diabetes melitus semakin banyak diderita penduduk dunia. Jumlah penderita diabetes melitus bertambah karena usia harapan hidup (UHH) semakin meningkat, terutama di negara-negara maju sehingga berdampak pada jumlah penderita diabetes melitus di dunia.

Diabetes adalah penyakit tidak menular yang termasuk dalam golongan ke 7 penyakit  penyebab kematian secara global. WHO memperkirakan lebih dari 420 juta orang  menderita diabetes dan jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 570 juta pada tahun 2030 dan menjadi 700 juta pada tahun 2045 (WHO, 2020). Sejak edisi pertama pada tahun 2000, Organisasi International Diabetes Federation (IDF) tahun 2021 memperkirakan prevalensi diabetes pada orang dewasa berumur 20-79 tahun telah  meningkat lebih dari tiga kali lipat, dari sekitar 151 juta (4,6% dari populasi global pada saat itu) menjadi 537 juta (10,5%) saat ini. Pada tahun 2021 ada 17,7 juta lebih banyak pria daripada wanita yang hidup dengan diabetes. Jumlah ini diperkirakan meningkat 643 juta orang akan menderita diabetes pada tahun 2030 (11,3% dari populasi) dan menjadi 783 juta (12,2%) pada tahun 2045.

Provinsi di Indonesia yang menduduki peringkat pertama dengan angka prevalensi diabetes mellitus tipe 2 tertinggi adalah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 tersebut naik dalam kurun waktu lima tahun dari data Riskesdas 2013 yang sebelumnya sebesar 2,5% di tahun 2018 naik menjadi 3,4% dari total 10,5 juta jiwa atau sekitar 250 ribu penduduk di DKI Jakarta yang menderita diabetes mellitus tipe 2. Jakarta Timur berada pada posisi kedua tertinggi terbanyak penderita diabetes mellitus tipe 2 di DKI Jakarta. Berdasarkan Laporan Triwulan 1 dan 2 Program PTM Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Timur 2021, DM tetap menduduki posisi kedua terbanyak pada rekapitulasi kunjungan penyakit tidak menular di Jakarta Timur yakni sebesar 57.190 kunjungan (Sudinkes Jakarta Timur, 2021).

Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Kota Jakarta Timur merupakan puskesmas peringkat ketiga dari sepuluh kecamatan dengan jumlah terbanyak dalam rekapitulasi kunjungan diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta Timur sebesar 6.536 kunjungan terhitung sejak Januari hingga Juni 2021 (Sudinkes Jakarta Timur, 2021). Pada Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, kasus diabetes mellitus tipe 2 menduduki posisi kedua pada sepuluh penyakit terbanyak tahun 2021 sejak januari hingga juni yakni sebesar 7.982 kasus (43,51%). Namun, capaian standar pelayanan minimal penyandang diabetes mellitus tipe 2 tahun 2021 masih rendah yakni sebesar 34,4% (Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, 2021).

DKI Jakarta menjadi provinsi tertinggi karena banyaknya jumlah penduduk dan sudah banyak tersedia sarana pemeriksaan gula darah. Penelitian yang dilakukan dr. Dicky L. Tahapary, Sp.PD dan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 berkaitan dengan Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), FKUI, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan perusahaan farmasi untuk pengobatan diabetes. Penggambaran ini dilakukan dengan mengumpulkan data Diabetes melalui surveilans dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, dan didapatkan hasil pasien diabetes yang terdaftar di fasilitas kesehatan berjumlah 12.775 jiwa, sehingga dapat disimpulkan walaupun angka penderita diabetes terus meningkat, tetapi masih banyak penderita diabetes yang tidak terdiagnosa karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang diabetes dan penangananya. Hal ini disebabkan karena kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kadar gula darah secara rutin di fasilitas pelayanan kesehatan masih rendah yakni hanya 53% yang mengetahui adanya skrining diabetes bisa dilakukan di Puskesmas Wilayah DKI Jakarta.

Kejadian diabetes mellitus tipe 2 pada anak-anak dan remaja usia produktif semakin meningkat. Diabetes mellitus tipe 2 sering juga disebut Diabetes Lifestyle karena penyebabnya selain faktor keturunan ada juga faktor lingkungan yang meliputi usia, obesitas, resistensi insulin makanan, aktivitas fisik, dan gaya hidup penderita yang tidak sehat pun ikut berperan. Berdasarkan fakta tersebut, maka sangat diperlukan usaha untuk pencegahan diabetes mellitus tipe 2 yang cepat dan tepat. Meninjau dari tingginya faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta melalui pengamatan literatur.

 

METODE

Penelitian ini menggunakan metode literature review. Adapun strategi pencarian untuk memperoleh artikel menggunakan fasilitas database online melalui Google Scholar. Kata kunci yang digunakan adalah faktor risiko; determinan; diabetes mellitus tipe 2; Jakarta. Artikel yang dipilih berdasarkan publikasi tahun 2020 - 2024. Penelitian ini akan mereview 11 studi yang dilakukan di Indonesia, khususnya Jakarta terkait penyakit diabetes mellitus tipe 2. Kriteria inklusi yang digunakan adalah jurnal yang memiliki kelengkapan data yang relevan dengan tujuan dan Indonesia full text, dan Jurnal yang memiliki struktur lengkap. Adapun kriteria eksklusinya adalah jurnal yang hanya membahas diabetes melitus tanpa ada kata tipe 2 dan jurnal yang dilakukan di luar DKI Jakarta. 

 

HASIL PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil kajian dari 11 jurnal penelitian yang diperoleh, terdapat beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta.

 

Hubungan Usia dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Usia merupakan salah satu faktor risiko yang tidak bisa diubah dengan seiring bertambahnya usia, tubuh secara alami mengalami proses penuaan yang menyebabkan penurunan aktivitas metabolisme. Penurunan ini berpengaruh pada kemampuan tubuh dalam mengatur kadar gula darah sehingga meningkatkan risiko terjadinya resisten insulin maupun gangguan pada pankreas. Kondisi ini membuat tubuh menjadi lebih rentan terhadap berbagai gangguan kesehatan terhadap diabetes mellitus (Laila and Veronika, 2024).

Menurut  hasil  penelitian Tabitha, Syarif, dan Wahyono (2024) menyatakan bahwa umur memiliki hubungan yang signifikan  dengan terjadinya diabetes mellitus tipe 2. Penelitian ini telah dilakukan pada Masyarakat di wilayah kerja puskesmas kebon baru, Jakarta Selatan dengan membagi dua kelompok usia, yaitu diatas 45 tahun dan 45 tahun kebawah.  Kelompok umur diatas 45 tahun memiliki risiko sebesar 3,15 kali terkena diabetes melitus dibandingkan kelompok umur 45 tahun ke bawah. Adapun penelitian lain yang relevan dilakukan oleh Suci dan Ginting (2023) pada masyarakat puskesmas Johar Baru, Jakarta Pusat. Penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan pada variabel usia terhadap terjadinya diabetes mellitus tipe 2 dengan risiko sebesar 2,893.

 

Hubungan Hipertensi dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang sulit diubah. Penderita hipertensi yang tidak terkontrol dengan baik, sering kali mengalami perubahan dalam fungsi metabolisme tubuh. Tekanan darah tinggi dapat merusak pembuluh darah dan mempengaruhi aliran darah ke organ-organ vital, termasuk pankreas, yang berperan dalam pengaturan kadar gula darah dan pada akhirnya memperbesar kemungkinan berkembangnya diabetes mellitus tipe 2.

Menurut  hasil  penelitian yang dilakukan oleh (Resti dan Cahyati, 2022) dan (Tabitha, Syarif and Wahyono, 2024) menyatakan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara hipertensi dan diabetes mellitus dengan p-value 0,67. Hal ini juga berkontradiktif dengan beberapa penelitian lain yang menunjukkan adanya hubungan antara hipertensi dan peningkatan risiko diabetes mellitus. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Rediningsih dan Lestari (2022) menemukan bahwa hipertensi dapat mempengaruhi kemampuan tubuh dalam mengatur kadar gula darah, yang berpotensi meningkatkan risiko terjadinya diabetes, dengan peluang risiko 7,857 kali dibandingkan orang yang tidak hipertensi. Perbedaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi kondisi kedua penyakit, seperti gaya hidup, pola makan, atau genetika, yang dapat bervariasi antara populasi yang diteliti.

 

Hubungan Genetik dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Faktor genetik memainkan peran penting sebagai salah satu risiko yang tidak dapat dihindari pada penyakit diabetes mellitus. Seseorang yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit ini dapat meningkatkan kemungkinan untuk mengalaminya. Menurut  hasil  penelitian yang dilakukan oleh Tabitha, Syarif, dan Wahyono (2024) menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara hubungan genetik dengan diabetes mellitus pada masyarakat di puskesmas kebon baru, Jakarta selatan tahun 2020. Seseorang yang mempunyai keluarga pengidap diabetes memiliki risiko sebesar 5,33 kali terkena diabetes mellitus dari pada orang yang tidak memiliki keluarga dengan riwayat diabetes mellitus. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Resti dan Cahyati (2022), pada masyarakat di wilayah puskesmas Pasar Rebo. Dimana hasil uji statistiknya mendapatkan P-value 0,025 (<0,05) yang berarti terdapat hubungan signifikan antara genetik terhadap kejadian diabetes mellitus. Sedangkan peluang mendapat diabetes mellitus tipe 2 pada seseorang yang memiliki riwayat keluarga diabetes mellitus sebesar 2,53 kali berisiko dibandingkan seseorang yang tidak memiliki riwayat keluarga diabetes mellitus.

 

Hubungan Merokok dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Perilaku merokok dapat mempunyai risiko lebih tinggi terjadinya resistensi insulin. Hal ini disebabkan pengaruh nikotin yang menurunkan pelepasan insulin  dalam tubuh sehingga berkembang kearah resisten insulin (Dianti, Setiawaty and Noviyanti, 2022). Hasil  penelitian yang dilakukan oleh (Resti and Cahyati, 2022) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel perilaku merokok terhadap diabetes mellitus, dengan peluang terkena diabetes mellitus sebesar 5,57 kali dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Artinya, individu yang memiliki kebiasaan merokok lebih rentan untuk mengalami gangguan metabolisme, termasuk diabetes mellitus tipe 2. Kebiasaan merokok tidak hanya mempengaruhi fungsi insulin, tetapi juga meningkatkan risiko peradangan dan stres oksidatif dalam tubuh, yang dapat memperburuk kondisi kesehatan secara keseluruhan.

 

KESIMPULAN

            Berdasarkan hasil penelusuran, hipertensi merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya penyakit diabetes mellitus tipe 2 di Jakarta. Kemudian, disusul oleh faktor perilaku merokok, faktor genetik atau mempunyai keluarga pengidap diabetes melitus, dan usia. Adapun faktor-faktor dalam setiap jurnal tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu faktor yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat diubah adalah hipertensi, faktor genetik atau memiliki keluarga pengidap diabetes melitus, dan usia. Meskipun status hipertensi tidak dapat diubah, tetapi penyakit ini dapat dikontrol. Apabila penderita hipertensi terkontrol dengan baik, maka dapat mengurangi risiko berkembangnya diabetes mellitus tipe 2. Sementara itu, faktor yang dapat diubah adalah perilaku merokok.

Faktor genetik ternyata juga memainkan peran penting, di mana individu dengan riwayat keluarga diabetes memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami penyakit ini. Selain itu, kebiasaan merokok juga signifikan meningkatkan risiko diabetes melalui pengaruh nikotin yang mengganggu pelepasan insulin dan memperburuk fungsi metabolisme tubuh. Deteksi dini dan pemeriksaan rutin kadar gula darah, khususnya pada kelompok berisiko tinggi, sangat penting untuk dilakukan. Langkah-langkah ini diharapkan dapat membantu mengurangi prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 di Jakarta sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

1.        Abrar, M., et al. (2020). Defisiensi fungsi dan sekresi insulin diawali dengan terjadinya prediabetes yang merupakan prakondisi diabetes.

2.        Haskas, et al. (2021). Diabetes sebagai penyakit kronis serius: Penyebab dan implikasinya.

3.        International Diabetes Federation (IDF). (2021). Prevalensi Diabetes Global 2000-2045.

4.        Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). (2020). Global Diabetes Report.

5.        Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo. (2021). Laporan Kunjungan Penyakit Tidak Menular di Jakarta Timur Tahun 2021.

6.        Qomariyah, M. A. (2022). Peningkatan Kasus Diabetes Melitus sebagai Penyakit Degeneratif. 

7.       Sudinkes Jakarta Timur. (2021). Laporan Triwulan Program PTM Kota Administrasi Jakarta Timur.

8.        Dianti, A.R., Setiawaty, S. and Noviyanti, S.R. (2022) ‘Analisis Risiko dan Perilaku Pencegahan Penyakit DM Tipe 2 Pada Usia Produktif di Wilayah DKI Jakarta Tahun 2021’, Journal of Public Health Education, 1(02), pp. 82–90. Available at: https://doi.org/10.53801/jphe.v1i02.49.

9.        Laila, S. and Veronika, E. (2024) ‘Faktor yang Berhubungan dengan Diabetes Melitus Tipe 2’, Surya Medika: Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan dan Ilmu Kesehatan Masyarakat [Preprint].

10.    Resti, H.Y. and Cahyati, W.H. (2022) ‘Kejadian Diabetes Melitus pada Usia Produktif di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo’.

11.    Suci, T. and Ginting, J.B. (2023) ‘PENGARUH FAKTOR USIA, INDEKS MASSA TUBUH, DAN KADAR GULA DARAH TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT DIABETES MELITUS TIPE 2’, 6.

12.    Tabitha, R., Syarif, S. and Wahyono, T.Y.M. (2024) ‘Factors Related to the Incidence of Diabetes Mellitus in the Kebon Baru Primary Health Center in South Jakarta in 2020’, Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia (MPPKI), 7(7), pp. 1884–1895. Available at: https://doi.org/10.56338/mppki.v7i7.5444.

13.    Seila Delfina, Carolita, I., Shafa Habsah, & Syi'ta Ayatillahi. (2021). ANALISIS DETERMINAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN DIABETES MELLITUS TIPE 2 PADA USIA PRODUKTIF. Jurnal Kesehatan Tambusai, 2(4), 141–151. https://doi.org/10.31004/jkt.v2i4.2823

14.    Rediningsih, D., & Lestari, I. (2022). Riwayat Keluarga dan Hipertensi Dengan Kejadian Diabetes Melitus tipe II. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat Indonesia, 3(1), 8-13. https://doi.org/10.15294/jppkmi.v3i1.52087